Mengenal Karakteristik Rakyat Indonesia Dari Komunikasi Publik Pemerintah
Perlu dikenali bersama-sama bahwa menjadi pejabat pemerintahan sebuah negara itu tidak mudah dan tanggungjawabnya luar biasa besar. Tugas jabatan menjadi lebih tidak mudah lagi ketika pejabat yang harusnya memikirkan kepentingan banyak orang sementara yang dibenaknya hanya kepentingan kelompoknya. Sehingga ketika berhadapan dengan publik, seringkali pejabat atau politisi harus menjadi "Penyair" yang bermain dengan kata-kata, bersilat lidah, poles sana-poles sini agar publik setidaknya dapat jawaban meskipun tidak benar-benar memuaskan dari yang menjabat. Meski gambar utamanya Barack Obama, artikel kali ini bukan membahas situasi politik Amerika, melainkan situasi politik di Indonesia. Seiring membaca artikel ini, anda akan memahami mengapa gambar Obama ada di artikel ini (Hope So).
Dari beberapa kasus komunikasi politik yang terjadi di Indonesia, kita bisa sama-sama melihat bagaimana "canggihnya" pemerintah republik ini membingkai persepsi publik. Melalui bingkai-bingkai yang dirangkai pemerintah tersebut, kita juga dapat mempelajari dan menarik kesimpulan mengenai bagaimana karakteristik rakyat Indonesia dibenak para pejabatnya. Dalam blog ini saya mencatat ada tiga bingkai yang bisa kita pelajari bersama-sama. Mungkin di tulisan berikutnya bisa ada bingkai lain yang menarik untuk dibahas.
#1 Rakyat Indonesia itu Pemaaf. Sehingga Minta Maaf Adalah Cara Yang Sopan dan Cukup Untuk Meredakan Amarah Rakyat Jika Ada Salah Kata Atau Salah Mengambil Kebijakan
#2 Rakyat Indonesia Suka Malas Mikir. Sehingga Labelisasi Opini Oposisi Yang Berseberangan Dengan Sesuatu Yang Negatif Jadi Cara Gampang Untuk Menghentikan Proses Berpikir Rakyat Yang Mungkin Sedang Berkembang
Ketika Raja Ampat yang indah akan dirusak oleh tambang, rakyat pun bergejolak. Diskusi tegang terjadi dibanyak forum dan tentu saja pemerintah perlu merespon. Dalam episode ini, yang ingin saya garisbawahi adalah pernyataan ketua Ormas besar yang memiliki kepentingan pertambangan: PBNU. Meskipun bukan secara langsung pejabat negara, ketua PBNU dianggap perpanjangan tangan pemerintah. Episode ini perlu digarisbawahi karena strategi atau teknik yang dilakukan oleh Ketua PBNU ini menyiratkan cara pandang pejabat mengenai salah satu karakteristik rakyat Indonesia yang fundamental: Kurang Suka Mikir.
Dalam merespon riuhnya "perlawanan" penambangan Raja Ampat, strategi atau teknik yang dilakukan Ketua PBNU adalah mengasosiasikan suara oposisi dengan label yang memiliki konotasi negatif: “Wahabi Lingkungan” atau “Aktivis Radikal”. Di Indonesia kata "Wahabi" dan "Radikal" memiliki makna yang negatif. Sehingga pemberian label ini pada orang-orang yang menentang penambangan di Raja Ampat menjadi cara instan untuk menyematkan persepsi negatif pada kelompok oposisi. Cara Ini bukan sekadar framing, tapi juga teknik delegitimasi: membuat publik merasa bahwa menentang kebijakan berarti berpihak pada sesuatu yang berbahaya atau tidak nasionalis.
Tentu tidak semua rakyat Indonesia malas berpikir. Bagi mereka yang berpikir dan punya literasi yang baik, tentu mereka sadar bahwa menyandingkan kata dengan makna negatif dengan kata "lingkungan" dan "aktivis" adalah perpaduan yang absurd, tidak masuk akal, dan sangat menanggap bodoh publik secara umum.
#3 Rakyat Indonesia Patuh Sama Otoritas. Sehingga Menegaskan Prosedur Legalitas Dari Suatu Kebijakan-Meski Culas, Cacat Moral, dan Sarat Kepentingan Pribadi/ Kelompok-Jadi Cara Cepat Untuk "Membenarkan" Kebijakan
Satu hal positif yang saya amati sejak rezim Prabowo Subianto dimulai adalah kebobrokan organisasi pemerintahan semakin terlihat dan mentalitas pejabat-pejabat di berbagai level pemerintahan yang korup semakin terungkap. melelahkan memang melihat berita-berita "bodoh" seperti itu. Tapi jika ada niat baik dan aksi untuk perbaikan di sisi pemerintahan, berita-berita semacam ini bisa jadi awal yang baik. Meskipun menurut berita prosesnya dibatalkan, salah satu episode mental korup yang ingin saya jadikan contoh disini adalah kasus tender mobil dinas di Bali yang terjadi bulan April 2025 lalu.
Ketika diminta untuk klarifikasi, senjata pemungkas yang digunakan adalah: Proses sesuai aturan, tak ada skandal. Kalimat seperti “tidak ada unsur penyimpangan” dan “sesuai regulasi yang berlaku” menjadi mantra untuk menenangkan publik. Kalimat-kalimat ini mengesankan bahwa jika "sesuai aturan", maka tidak ruang diskusi, tidak bisa dievaluasi, tidak bisa disalahkan, dan rakyat "tidak paham aturan" boleh diam saja. Sejak era presiden Joko Widodo, mantra "sesuai aturan" ini menjadi teknik membungkam yang sering digunakan. Yang mana pada realitasnya, "sesuai aturan" ini maksudnya aturannya pun sudah dibengkok-bengkokan dan aturan barunya dibuat-buat agar bisa mengatakan "sudah sesuai aturan". Tentu sejarah mencatat bagaimana konstitusi Indonesia diubah agar Joko Widodo bisa menempatkan anaknya sebagai Wakil Presiden. Pada akhirnya, sang Bapak bisa bilang ke awak media: "Sudah sesuai aturan".
Perlu menjadi catatan bagi kita semua: kepatuhan prosedural tidak selalu berarti kebijakan tersebut adil atau bijak secara substansi—dan di sinilah kritik substantif sering kali tenggelam oleh narasi legalitas.
Komentar
Posting Komentar