The High Cost of Being "Baper": Kenapa Sensitivitas Berlebih di Sosmed Itu Bahaya
Pernah nggak sih, baru baca judul berita atau satu tweet yang lewat di timeline, napas langsung pendek dan jempol gatel pengen ngetik pakai capslock? Atau mungkin seharian mood hancur cuma karena liat postingan tentang isu politik atau skandal selebriti yang sebenernya... has nothing to do with your real life?
Kita hidup di era di mana informasi bergerak lebih cepat dari kemampuan kita mencernanya. Dan masalahnya, seringkali kita merespons bukan dengan logika, tapi dengan pure emotion. Kita jadi hipersensitif.
Mungkin terdengar seperti "empati", tapi kalau berlebihan, sensitivitas ini justru bisa jadi boomerang buat kesehatan mental dan intelektual kita. Sebagai seseorang yang berkecimpung di dunia strategi komunikasi, saya melihat ada bahaya besar kalau kita nggak punya "filter" emosi saat scrolling.
Berikut adalah 3 bahaya kalau kita terlalu sensitif dalam mencerna informasi di media sosial:
The Death of Objectivity (Kita Kehilangan Objektivitas)
Saat kita terlalu cepat tersinggung atau marah, kita menutup pintu diskusi. Kita tidak lagi melihat sebuah informasi sebagai data untuk dianalisis, tapi sebagai serangan personal.Padahal, media literacy yang baik itu dimulai dari kemampuan menahan diri. Melihat sudut pandang yang berbeda itu harus dibiasakan. Kalau ada opini yang berseberangan, jangan langsung dianggap musuh. Instead of getting angry, get curious.
Kalau kita bisa membaca informasi sensitif tanpa jadi emosional, kita justru dapat "emas"-nya: sudut pandang baru. Itu kekayaan intelektual. Tapi kalau kita baca sambil marah? Kita cuma dapat darah tinggi. Keep a cool head creates a strategic mind.
Terjebak di "Penjara" Algoritma (The Echo Chamber Trap)
Ini yang sering nggak kita sadari. Algoritma media sosial itu seperti pelayan yang terlalu setia; dia akan menyajikan apa yang paling sering memicu reaksi kita.Kalau kita sensitif dan selalu bereaksi pada berita tentang "gelapnya negara", "krisis moral pejabat", atau "drama perceraian artis", maka algoritma akan berpikir, "Oh, this person loves this kind of drama!"
Hasilnya? Timeline kamu akan penuh dengan berita negatif. Kamu jadi merasa dunia ini mau kiamat. Kamu tenggelam dalam echo chamber yang kamu bangun sendiri lewat emosimu. Padahal, realitas di luar sana jauh lebih luas dan berwarna dari itu. Don’t let your sensitivity engineer a dystopian reality for yourself.
Crisis Fatigue yang Berujung pada Information Avoidance
Ini bahaya puncaknya. Karena sistem saraf kita terus-menerus "dibakar" oleh isu-isu sensitif, kita akhirnya capek. Kita mengalami Crisis Fatigue.Ujung-ujungnya apa? Kita melakukan Information Avoidance. Kita apatis. Kita unfollow semua portal berita, kita keluar dari grup diskusi, kita menutup mata. "Ah, pusing mikirin negara/dunia, bodo amat lah."
Padahal, justru informasi yang memicu sensitivitas itu biasanya adalah informasi yang penting buat kita (kalau nggak penting, nggak mungkin bikin emosi, kan?). Kalau kita menutup diri, kita kehilangan kesempatan belajar dan beradaptasi. You shut down right when you need to wake up.
So, What Now? Pesannya sederhana: Lapangkan dada dan buka pikiran.
Berusahalah tetap objektif. Sadari bahwa di dunia ini, kita punya peran masing-masing. Ada hal-hal yang memang di luar kapasitas (dan job description) kita untuk memperbaikinya. Jangan ambil pusing beban dunia di pundakmu sendiri.Ubah sensitivitas itu. Jangan biarkan dia jadi energi yang bikin draining, tapi jadikan energi yang konstruktif. Kalau ada isu yang bikin resah, do something small but real di sekitarmu, daripada cuma marah-marah di kolom komentar.
Stay sharp, stay sane.

Komentar
Posting Komentar