Beyond the Mirror: Apakah Iklan Harus Selalu Menampilkan "Wajah" Pembelinya?

Dalam dunia kreatif, rasanya tidak ada yang benar-benar salah, dan tidak ada yang sepenuhnya benar. Bagi saya, dunia iklan adalah dunia persepsi, tempat di mana segala kemungkinan bisa dieksplorasi untuk menghasilkan karya yang berdampak.
Namun, dari sekian banyak area abu-abu, ada beberapa hal yang seringkali menjadi "hitam dan putih" dalam pengalaman profesional saya. Salah satunya adalah adagium klasik: Klien itu selalu benar.
Meskipun, jujur saja, kita sama-sama tahu bahwa klien pun bisa juga salah. Tapi dalam dinamika bisnis agency, seringkali perdebatan sengit terkait sebuah draft iklan berakhir pada keputusan subjektif seputar "like and dislike". Ada klien yang suka dengan gaya visual tertentu, atau tone pesan tertentu. Selama itu sesuai dengan selera mereka, maka itu dianggap "benar"—meskipun kadang saya merasa itu belum tentu sepenuhnya tepat secara strategis.
Salah satu topik perdebatan yang paling sering saya temui di meja meeting adalah: Apakah iklan harus selalu menampilkan secara harfiah siapa pengguna dari produk atau brand Anda?
Mari kita coba bedah ini. Saya ingin mengajak Anda melihat sebuah studi kasus sederhana yang menarik perhatian saya.
Di sana, Wuling menampilkan imagery sebuah keluarga: Ayah, Ibu, dan anak-anak dengan latar belakang hunian modern. Pesannya jelas lewat headline "Driving The Future of Comfort".
Sekarang, mari sama-sama kita refleksikan.
Apakah karena iklan Wuling Cloud EV menampilkan sosok keluarga sebagai target audience utama, lantas hal ini akan menghalangi seorang pengusaha muda, eksekutif yang masih lajang, wanita karir, atau bahkan pensiunan tentara untuk membeli Cloud EV?
Jawaban tegas saya: Tentu saja tidak.
Intinya adalah, bagaimana imagery yang ada di iklan itu bisa menjadikan suatu produk terlihat inspiring dan appealing. Keluarga di situ bukan sekadar "data demografis", melainkan simbol dari kenyamanan dan kehangatan. Itulah yang dibeli orang.

Mari saya berikan contoh yang lebih ekstrem—dan mungkin sedikit menggelitik logika kita.
"Jika" realitas di lapangan Wuling Cloud EV ternyata cukup banyak digunakan sebagai armada Taksi Online. Secara data, pengemudi taksi adalah pengguna riil produk ini.
Lalu, apakah Wuling harus membuat iklan Cloud EV dengan imagery mobil sebagai Taksi? Apakah visual mobil yang sedang "narik" penumpang di jalanan macet Jakarta akan cukup menginspirasi konsumen untuk membelinya?
Saya rasa kita sepakat jawabannya adalah tidak.
Jadi, iklan itu tidak sama dengan sensus penduduk atau potret target market yang kaku. Imagery atau consumer reflection di sebuah iklan harus bisa memberikan persepsi nilai yang baik. Tugasnya adalah memberikan inspirasi bagi khalayak, khususnya khalayak sasaran yang kita perkirakan akan tertarik.
Bagi saya, konsumen tidak hanya membeli fungsionalitas barang. Mereka membeli aspirasi. Jadi, jangan takut jika model di iklan Anda tidak persis sama dengan siapa yang menggesek kartu kredit di kasir. Yang penting, nilai apa yang mereka wakili?
Namun, dari sekian banyak area abu-abu, ada beberapa hal yang seringkali menjadi "hitam dan putih" dalam pengalaman profesional saya. Salah satunya adalah adagium klasik: Klien itu selalu benar.
Meskipun, jujur saja, kita sama-sama tahu bahwa klien pun bisa juga salah. Tapi dalam dinamika bisnis agency, seringkali perdebatan sengit terkait sebuah draft iklan berakhir pada keputusan subjektif seputar "like and dislike". Ada klien yang suka dengan gaya visual tertentu, atau tone pesan tertentu. Selama itu sesuai dengan selera mereka, maka itu dianggap "benar"—meskipun kadang saya merasa itu belum tentu sepenuhnya tepat secara strategis.
Salah satu topik perdebatan yang paling sering saya temui di meja meeting adalah: Apakah iklan harus selalu menampilkan secara harfiah siapa pengguna dari produk atau brand Anda?
Mari kita coba bedah ini. Saya ingin mengajak Anda melihat sebuah studi kasus sederhana yang menarik perhatian saya.
Refleksi dari Wuling Cloud EV
Coba perhatikan visual iklan Wuling Cloud EV di atas (Gambar Utama).Di sana, Wuling menampilkan imagery sebuah keluarga: Ayah, Ibu, dan anak-anak dengan latar belakang hunian modern. Pesannya jelas lewat headline "Driving The Future of Comfort".
Sekarang, mari sama-sama kita refleksikan.
Apakah karena iklan Wuling Cloud EV menampilkan sosok keluarga sebagai target audience utama, lantas hal ini akan menghalangi seorang pengusaha muda, eksekutif yang masih lajang, wanita karir, atau bahkan pensiunan tentara untuk membeli Cloud EV?
Jawaban tegas saya: Tentu saja tidak.
Intinya adalah, bagaimana imagery yang ada di iklan itu bisa menjadikan suatu produk terlihat inspiring dan appealing. Keluarga di situ bukan sekadar "data demografis", melainkan simbol dari kenyamanan dan kehangatan. Itulah yang dibeli orang.
Jebakan Realitas vs. Inspirasi

Mari saya berikan contoh yang lebih ekstrem—dan mungkin sedikit menggelitik logika kita.
"Jika" realitas di lapangan Wuling Cloud EV ternyata cukup banyak digunakan sebagai armada Taksi Online. Secara data, pengemudi taksi adalah pengguna riil produk ini.
Lalu, apakah Wuling harus membuat iklan Cloud EV dengan imagery mobil sebagai Taksi? Apakah visual mobil yang sedang "narik" penumpang di jalanan macet Jakarta akan cukup menginspirasi konsumen untuk membelinya?
Saya rasa kita sepakat jawabannya adalah tidak.
Jadi, iklan itu tidak sama dengan sensus penduduk atau potret target market yang kaku. Imagery atau consumer reflection di sebuah iklan harus bisa memberikan persepsi nilai yang baik. Tugasnya adalah memberikan inspirasi bagi khalayak, khususnya khalayak sasaran yang kita perkirakan akan tertarik.
Bagi saya, konsumen tidak hanya membeli fungsionalitas barang. Mereka membeli aspirasi. Jadi, jangan takut jika model di iklan Anda tidak persis sama dengan siapa yang menggesek kartu kredit di kasir. Yang penting, nilai apa yang mereka wakili?
Komentar
Posting Komentar