Nakhoda di Arus Globalisasi

Tulisan ini adalah esai yang saya tulis untuk berpartisipasi kontes esai kepemimpinan yang dibuat oleh His Excellency Dino Pati Djalal ketika bukunya "Harus Bisa" diterbitkan. Syukur menjadi 1 dari 100 tulisan terbaik yang masuk dari seluruh Indonesia. Setelah itu para penulis diundang untuk bertemu dengan Presiden SBY pada waktu itu, dan sangat senang disana saya bertemu dengan banyak sekali manusia bangsa Indonesia yang luar biasa. Selamat membaca.





Globalization is marked by the information and communication technology advancement which enables the growth of extensity, intensity, and velocity of the world wide stakeholder’s interconnectedness.
Globalization is an era when a single issue of international relations cannot be categorized into a single criterion but can cause multiple impact.
Tertulis di atas bahwa kedua definisi globalisasi tersebut adalah postulat yang didadasarkan pada pemahaman umum yang dimiliki oleh penulis. Kenapa definisi globalisasi terlebih dahulu dituliskan? Karena globalisasi melukiskan sebuah era baru yang abstrak bagi penulis dan tentunya bagi individu lainnya. Setelah individu memiliki pemahaman tersendiri, barulah individu tersebut dapat beradapatasi dan hidup di sebuah sistem sosial tertentu. Sama halnya dengan pemimpin, jika ia tidak tahu, maka ia tidak paham. Jika ia tidak paham, maka ia tidak tahu apa yang dia kerjakan. Dan jika ia tidak tahu apa yang dia kerjakan, maka ia adalah pemimpin yang “mabuk” tak sadarkan diri. Jika pemimpin “mabuk”, bagaimana dengan individu-individu yang dipimpinnya? Terlebih lagi di era globalisasi ini! Tentu saja pemimpin harus sadar bahwa ia sedang mendayung kapal di atas arus globalisasi! Jika tidak demikian, maka akan hancur dan hanyutlah kapal tersebut!

I. Internalizing Globalization System
Salah satu aspek penting dari pemimpin di era globalisasi adalah haruslah individu yang menginternalisasi sistem globalisasi ke dalam pikiran, tubuh, dan jiwanya. Saat ini Negara manapun dengan berbagai sistem pemerintahannya—baik itu monarki konstitusional ataupun parlementer, sosialis, komunis, berbasis agama, demokrasi, demokrasi pancasila, dll— telah terlibat di dalam sebuah sistem kompleks yang disebut dengan globalisasi. Saat ini juga penduduk suatu Negara dimanapun ia berada telah menjadi “tetangga” satu sama lain dengan penduduk lainnya yang berada dibelahan bumi yang berbeda. Di abad ini setiap kebijakan politik Negara tertentu berpotensi untuk menimbulkan pengaruh yang signifikan terhadap kehidupan manusia di Negara lain. Dan di abad ini juga konflik dalam suatu Negara—baik pada level pribadi, kelompok, ataupun organisasi—bisa dikonsumsi secara masal oleh tiap individu di dalam sistem globalisasi hanya dalam hitungan detik. Tanpa menginternalisasi sistem globalisasi maka seorang individu tidak mampu memimpin dirinya sendiri, kelompoknya, organisasi, dan Negara untuk bertahan di era globalisasi.

Kata internalisasi bisa diartikan sebagai penyatuan kepercayaan atau nilai-nilai ke dalam darah daging individu sehingga kepercayaan dan nilai-nilai tersebut menjadi bagian dari dirinya. Menginternalisasi sebuah kepercayaan atau nilai ke dalam pikiran, tubuh, dan jiwa, tiap individu membutuhkan proses yang cukup panjang. Untuk menginternalisasikan nilai dan kepercayaan kepada seorang anak untuk berani bercita-cita agar menjadi pribadi yang besar harus melalui proses pendidikan yang dimulai semenjak tingkat pendidikan yang paling dasar. Pada akhirnya, nilai dan kepercayaan tersebut akan menjadi kebiasaannya dalam berpikir dan berperilaku di masa yang akan datang. Begitu juga seorang pemimpin di era globalisasi, secara pikiran, tubuh, dan jiwa mereka harus menyatu dengan kepercayaan dan nilai-nilai dari globalisasi agar memiliki cara berpikir, cara pandang, dan cara berperilaku yang relevan untuk menerjang arus badai globalisasi. Jika tidak demikian, pemimpin tersebut tidak akan bisa merasakan tantangan dan tidak memahami konsekuensi globalisasi yang mengakibatkan individu tersebut terbawa hanyut oleh arus globalisasi.

II. Communication Networks in Globalization System
Jaringan komunikasi adalah pola-pola suatu hubungan antara pelaku-pelaku komunikasi yang tercipta dengan saling mengirimkan dan bertukar pesan-pesan di dalam ruang dan waktu[1]. Di dunia yang telah menjadi global—menglobal—ini, pelaku komunikasi di dalam suatu ruang dan waktu sudah tak dapat diidentifikasikan dengan mudah. Pendekatan realisme dalam hubungan internasional tampak usang dan tidak relevan di era globalisasi ini. Mengapa? Karena komunikator atau stakeholder yang dapat melakukan kontak dengan individu-individu di luar batas-batas geografis semakin besar jumlahnya. Ada state actors dan non-state actors. Kalau aktor Negara sudah jelas siapa komunikatornya, tapi aktor non-negara jumlahnya tak terbendung. Aktor-aktor non-negara seperti MNC (Multy National Corporation), Media Massa, LSM, Partai Politik, Kelompok-Kelompok Agama, Kelompok-Kelompok Budaya, bahkan masing-masing individu—who already in tune to the globalization—adalah komunikator yang sulit untuk dibendung. Sehingga hal ini menuntut seorang pemimpin untuk merangkul seluruh komunikator atau stakeholders tersebut dan menciptakan sebuah jaringan komunikasi yang terjaga.

Jaringan komunikasi disini bukan sekedar untuk diseminasi informasi mengenai isu-isu terkait kepada para stakeholders, Melainkan harus memiliki fungsi innovation, social relationship, maintenance dan connectedness. Sebagai seorang pemimpin di era globalisasi, mereka harus menyadari bahwa ia tidak sendiri. Jika ia kepala Negara, maka ia harus menyadari bahwa di subsistemnya ia memiliki pemimpin-pemimpin yang memiliki idealisme masing-masing yang harus dipenuhi kebutuhan interpersonalnya. Seorang pemimpin harus bisa merangkul para stakeholders tersebut dan menyamakan persepsi untuk menghadapi tantangan globalisasi.

Globalisasi harus dipandang sebagai sebuah peluang. Peluang dimana potensi mendapatkan sahabat dan jaringan komunikasi menjadi lebih besar. Peluang untuk memperluas jaringan komunikasi di era globalisasi ini harus bisa dimanfaatkan dengan baik sehingga visi dan misi pemimpin dapat terwujud. Berpikir positif dengan menganggap seluruh negara sebagai sahabat potensial adalah modal utama. kesampingkan segala prasangka dan tunjukkan ketulusan yang disertai dengan kredibilotas untuk membangun sebuah jaringan komunikasi di dalam sistem globalisasi.

III. Stakeholders’s Interpersonal Needs
Salah satu gejala globalisasi adalah dimana individu—dimanapun ia berada— terhubungkan dengan individu lainnya. Stakeholders yang sifatnya organisasi atau kelompok sudah pasti terdiri dari individu-individu di dalamnya. Sama halnya dengan sebuah negara yang dijalankan oleh sistem pemerintahan, secara pasti terdiri dari individu-individu yang berpikir (Homo Sapiens) sebagai penggerak roda-roda negara. Seorang pemimpin di era globalisasi harus memandang semua stakeholders tersebut –baik itu sebuah kelompok atau organisasi—secara personal yang kebutuhan interpersonal-nya harus dipenuhi.

Menurut Schultz, kebutuhan interpersonal terdiri dari inklusi, afeksi, dan kontrol. Untuk menjadi pemimpin di era globalisasi, ia harus mampu melibatkan (inklusi) seluruh pihak terkait untuk berperan serta dalam mencapai visi dan misinya. Ia juga harus menunjukkan rasa ketulusan, perhatian dan empathi terhadap pihak-pihak tersebut (Afeksi). Dan ia juga harus bisa mengontrol pihak-pihak terkait tersebut untuk bersama-sama mencapai tujuan bersama. Sangat rapuh sebuah negara atau perusahaan jika pemimpinnya tidak memiliki dukungan yang besar oleh pihak-pihak tersebut.

Pemimpin adalah seorang yang memiliki ego tinggi. Namun untuk menghadapi era globalisasi, ia harus mampu meredam ego tersebut untuk mempersatukan para pemimpin-pemimpin yang lainnya. Saat ini banyak sekali pemimpin-pemimpin yang masih menyimpan egonya dengan membuat kendaraan politik untuk mencapai pucuk kekuasaan yang penumpangnya hanya segelintir orang dari mayoritas populasi. Pemimpin di era globalisasi tidak seperti itu. Pemimpin di era globalisasi harus membuat para pemimpin-pemimpin tersebut bersatu dan membuat suatu suara besar bersama-sama which could turns the world on it’s ears! Ketika ia tidak berada di puncak kekuasaan, pemimpin di era globalisasi tidak berpikir bagaimana saya bisa menggantikan posisi kepemimpinan yang tidak lebih baik dari saya, dan ia tidak merasa dirinya lebih baik. Namun sebaliknya ia akan berpikir bagaimana saya bisa memberikan sesuatu agar jalannya roda-roda sistem menjadi lebih baik. Sebaliknya, ketika ia berada di puncak kekuasaan, pemimpin di era globalisasi harus berpikir bagaimana kita bisa membuat ini menjadi lebih baik.

IV. Hypermedia Attacks!
Teknologi mutakhir di era globalisasi ini salah satunya adalah internet. Internet memungkinkan individu berintekasi jarak jauh dengan immediate feedback dari individu lainnya. Dengan kecanggihan teknologi tersebut, maka internet disebut juga dengan istilah Hypermedia. Dengan teknologi internet, seorang anak SMU berusia 16 tahun bisa menjadi seorang jurnalis yang tulisannya bisa dibaca oleh khalayak tanpa batas. Siapa pun bisa menjadi jurnalis karena adanya fasilitas blogging di internet. Dan tulisan siapa pun akan bisa di multi-interpretasikan oleh siapa pun. Sehingga perkembangan teknologi ini dapat memberikan keuntungan maupun kerugian yang berpotensi memunculkan krisis.

Keuntungan yang di dapat tentu saja diseminasi informasi kepada khalayak menjadi lebih mudah. Namun kerugiannya bisa jadi menghancurkan diakibatkan oleh kesalahan persepsi maupun ketiadaan privasi individu. Dengan segala potensi yang dapat diakibatkan oleh communication technology advancement ini, pemimpin di era globalisasi adalah pemimpin yang melek teknologi informasi dan komunikasi. Dengan penguasaan teknologi, seorang pemimpin bisa mengoperasikan teknologi tersebut sehingga bisa secara langsung terlibat di dalam interaksi dunia maya. Disini pemimpin harus mampu menjadi Public Relations Officer untuk dirinya sendiri. Dan Secara langsung pula ia menjadi juru bicara atas organisasi yang dinaunginya. Dampak dari keikutsertaan pemimpin dalam interaksi di hypermedia bagi para stakeholders adalah adanya rasa kedekatan antara diri mereka dengan pemimpin—walaupun di dunia virtual. Tentu saja hal tersebut merupakan sebuah awal yang baik.

V. Leader must shows his existence and discernably unique!
Globalisasi menciptakan apa yang disebut oleh Marshal McLuhan dengan Global Village, dimana masyarakat di dunia memiliki kesamaan budaya dan nilai-nilai. Saat ini penampilan penduduk di seluruh dunia secara fashion hampir serupa. Pakaian penduduk Jakarta yang berkiblat kepada dunia fashion barat saat ini sudah mampu menyamai bahkan lebih fashionable daripada orang barat sendiri sebagai trendsetter. Kehidupan keluarga di Prancis menunjukkan bahwa usia pernikahan laki-laki adalah 30 sedangkan bagi perempuan 27. Cultural Shift di Prancis tersebut—sebelumnya adalah 27 tahun untuk laki-laki dan 25 untuk perempuan—adalah salah satu budaya kehidupan yang sebagian penduduk Jakarta—yang terpisah oleh lautan dan benua dari negara prancis—sudah hampir menyamainya. Begitu juga halnya dengan seks pranikahan, berkeluarga tanpa nikah, dan perceraian. Nowadays people around the globe are sharing the same cultures! Dan ini bisa jadi sebuah perkembangan ataupun kemerosotan.

Dalam ilmu sosiologi dijelaskan bahwa budaya yang dominan akan menjadi budaya yang universal. Saat ini Negara-negara barat masih merupakan Negara dominan yang tiada henti mentransmisi budaya mereka melalui berbagai saluran yang ada. Hal ini membuat budaya mereka sebagai budaya yang dominan. Perkembangan teknologi yang mereka miliki sudah lebih maju. Sehingga Negara-negara berkembang hanya menjadi pengadopsi segala perkembangan budaya dari barat (teknologi adalah salah satu bentuk konkrit budaya manusia). Pemimpin di era globalisasi harus menyadari bahwa hal ini merupakan potensi akan kepunahan bagi keunikan budaya manusia. Apa jadinya jika semua Negara menjadi seragam? Tentu saja pencipta seragam tersebut akan menjadi “kepala sekolah”nya dan murid-murid yang ingin tampil nyentrik harus berbeda dari “kepala sekolah”. Pemimpin di era globalisasi harus menunjukkan keberadaannya, siapa dirinya, berserta identitas-identitas diri dan pihak-pihak yang terkait lainnya. Indonesia adalah salah satu Negara sasaran transmisi budaya barat. Saat ini budaya yang ditransmisikan tidak hanya perkembangan ilmu pengetahuan saja, melainkan gaya hidup. Gaya hidup kebarat-baratan sudah terinternalisasi bagi sebagaian masyarakat khususnya masyarakat perkotaan. Pemimpin harus bisa mempertahankan budaya bangsanya beserta potensi-potensinya dan tidak terbawa oleh arus globalisasi. Sayang sekali kalau budaya ketimuran bangsa Indonesia beserta potensinya terseret arus globalisasi seperti rumah-rumah yang terhempas oleh tsunami.

VI. Leaders of Globalization era must be proactive to be on the center stage of the world wide stadium!
Berbicara globalisasi berarti bicara mengenai dunia! Global! World Wide! Untuk menjadi pemimpin kelas, seorang murid harus aktif dalam kegiatan belajar mengajar dan proaktif dalam membina hubungan dengan teman-teman sekelasnya. Untuk menjadi pemimpin di era globalisasi tidak semudah menjadi ketua kelas. Pemimpin di era globalisasi harus memiliki jiwa proaktif untuk berperan di tengah pentas global. Seorang aktor atau aktris dalam sebuah teater akan selalu mendapatkan standing ovation jika para penonton menyukai tokoh yang dimainkannya dan bagaimana cara ia memainkannya. Setelah pertunjukkan teater itu selesai, aktor atau aktris tersebut akan lebih harum lagi namanya apabila penonton masih membicarakan tentang penampilannya di perjalanan pulang dan bahkan berbulan-bulan setelah pertunjukkan tersebut.

Pemimpin global harus bisa menarik simpati para penonton di stadium global. Memperoleh simpati para penonton berbeda dengan memperoleh popularitas. Untuk mendapatkan popularitas adalah sangat mudah, namun untuk mendapatkan simpati penonton lebih sukar untuk dilakukan. Prokatif adalah salah satu syarat untuk menjadi pemimpin di era globalisasi. Individu proaktif adalah individu yang memiliki inisiatif dan berjiwa enterpreneurship. Dan individu-individu yang penuh inisiatif adalah individu yang akan menemukan peluang terlebih dahulu dibandingkan dengan individu yang lain. Pemimpin proaktif bisa meningkatkan laju perekonomian dengan menciptakan lapangan kerja potensial dengan mengundang investor asing untuk menanam modal di negaranya, memberdayakan masyarakat kecil dan menengah dengan mendukung usaha kecil dan menengah, mempromosikan hasil budaya bangsa sebagai aset potensial bangsa yang dapat diimpor ke mancanegara. Pemimpin proaktif bisa memunculkan handsome policy dari berbagai hubungan politik dengan negara lain. Pemimpin proaktif mampu memperoleh simpatik masyarakat luas karena usahanya yang proaktif dalam membela kepentingan negara atau organisasinya dan ketulusannya dalam membina hubungan dengan negara atau organisasi lainnya.

VII. The whole things are borderless! Leaders Must Think Beyond Borders!
Teknologi informasi dan komunikasi di era globalisasi membuat segalanya menjadi tanpa batas. Saling keterhubungan (interconnectedness) dan saling ketergantungan (interdependent) antar negara menimbulkan konsekuesi baru yang dapat menimpa secara mendalam ke seluruh lapisan masyarakat yang ada. Individu dimanapun mereka berada dapat saling terhubungkan tanpa menghiraukan batasan geografis. Batasan normatif dan etika yang sebelum berlaku di suatu sistem masyarakat tertentu menjadi kabur dan bercampur aduk dengan batasan-batasan baru yang berasal dari luar sistem masyarakat tersebut. Isu-isu antara negara yang terjadi kini tidak lagi dapat diklasifikasikan ke dalam satu kategori isu tertentu. Isu politik bisa menimbulkan isu ekonomi atau bahkan sosial budaya. Sinisme terhadap suatu golongan tertentu bisa menimbulkan suatu sinisme massa atau isolasi terhadap golongan tersebut. Isu keamanan beserta kebijakan politik suatu negara bisa jadi merugikan negara lain di berbagai aspek kehidupan. Semua hal tersebut saat ini membuat segalanya seperti sebuah interrelated interplay sequences. Every thing is become borderless! To survive in today’s globalized world, Leaders must think beyond borders!

Seorang pemimpin yang mampu berpikir menembus batas adalah pemimpin yang memiliki pengetahuan yang luas. Amunisi utama seorang pemimpin adalah pengetahuannya. Pengetahuan tidak hanya meliputi ilmu-ilmu yang telah dipelajarinya pada jenjang pendidikan. Bukan hanya mengenai variable-variable yang teruji secara empiric lengkap dengan data statisitik dengan pemaparan secara komprehensif. Pengetahuan itu juga meliputi ilmu-ilmu mengenai nilai-nilai dan norma-norma. Baik itu norma atau nilai-nilai dari suatu budaya yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia, maupun nilai-nilai yang terkandung agama yang bersifat transendental. Tanpa nilai-nilai transendental tersebut seorang pemimpin tidak memiliki suatu pedoman dan arah dalam memunculkan suatu keputusan bagi kepentingan orang banyak (stakeholders). Sehingga pemimpin sangat mutlak harus memiliki pendidikan yang baik, baik itu edukasi di instansi pendidikan, keluarga, dan masyarakat.

Pendidikan seseorang begitu penting karena mempengaruhi bagaimana seorang itu berpikir. Pengetahuan yang lengkap (ilmu, nilai, dan moral) dan luas, akan memberikan banyak wawasan sebelum seorang pemimpin mengeksekusi suatu keputusan dan menerapkannya secara praktis. Tanpa pengetahuan bisa jadi memberikan peluang kepada keniscayaan kosong untuk terjadi. Seorang pengusaha yang kaya raya di satu sisi berpartisipasi untuk memajukan ekonomi suatu Negara. Namun tanpa pengetahuan bisa jadi pengusaha tersebut menjalankan bisnisnya tersebut menembus batas-batas nilai, moral, dan etika. Seorang anggota parlemen bisa jadi sumber inspirasi bagi motif masyarakat untuk berkembang menjadi besar. Tanpa pengetahuan, bisa jadi anggota parlemen melakukan pekerjaan kotor di balik meja kerjanya. Berpikir boleh borderless hanya saja harus dilengkapi dengan control agar tidak menembus batas-batas nilai, moral,dan etika yang berlaku.

Presiden Mahmoud Ahmadinejad—Dosen yang juga sekaligus Presiden Iran-mendapatkan undangan untuk menjadi pembicara di Universitas Colombia. Sebagai salah satu presiden yang berani menentang Negara adidaya dengan kebijakan pengayaan uraniumnya, Presiden Ahmadinejad mendapatkan banyak opini dari penduduk global. Ada yang mengaguminya, ada yang mengutuknya, ada membencinya, dan ada juga yang mencintainya. Namun hal yang tampak dari setiap penampilannya adalah keyakinan akan kebijakkan yang dibuatnya dan kesederhaannya sebagai seorang pelayan bagi masyarakatnya. Seringkali ia tidak mengenakan dasi dalam acara-acara formal yang disorot oleh media massa dunia. Terhadap audiens Universitas Columbia, ia mampu menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya. Sebagai seorang pahlawan tanpa tanda jasa di negaranya, ia mampu menunjukkan betapa luas kapasitas pengetahuannya, kelapangan jiwanya, dan keluhuran hati nuraninya. Dan saat ini pun Iran meruapakan sebuah Negara yang hebat dengan pemimpin yang hebat.

VIII. Flexibility dan Adaptibility
enduduk global terdiri dari individu-individu yang pintar, cerdas, dan memiliki kepercayaan dan nilai sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. Pemimpin harus memiliki pengetahuan yang layak untuk dapat memimpin individu-individu tersebut. Kemampuan adaptasi di segala lingkungan dan lapisan masyarakat juga mutlak harus dimiliki. Dimanapun ia berada, pemimpin harus mampu beradapatsi dan mengayuh dayung di atas arus globalisasi yang deras. Arus globalisasi dapat di analogikan dengan arus arung jeram yang deras dengan batu-batu besar sebagai rintangan. Maka pemimpin harus menggunakan perahu karet yang fleksibel agar berhasil merintangi medan-medan mematikan dari arung jeram tersebut. Tidak bisa seorang pemimpin di era globalisasi berpikir dengan cara kuno dan usang bagi perahu kayu besar nan kokoh. Lambat laun perahu tersebut akan hancur berkeping-keping.

China adalah salah satu Negara yang berhasil menerjang badai globalisasi. Dalam sejarah perkembangan China terukir banyak kisah yang menyedihkan, penuh perjuangan, dan kepedihan rakyat yang sulit dibayangkan. Namun kini China berhasil dan mampu menjadi salah satu Negara dengan pertumbuhan ekonomi yang hebat dalam sejarah dunia. Pada periode ‘maoist’, China merupakan sebuah Negara yang tertutup dan terisolasi dari dunia luar. Hal tersebut berdampak pada keterpurukan ekonomi China pada saat itu. Berbeda dengan periode tersebut, saat ini program the four modernization yang diterapkan di dalam negaranya berhasil membangkitkan perekonomian China. Pemimpin Republik Rakyat China Deng Xiao Ping berhasil mengadaptasikan sistem perekonomian yang sebelumnya belum pernah diterapkan sebelumnya ke dalam sistem pemerintahan China untuk survive di era ekonomi global. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa Pemimpin China berhasil mengarungi jeram-jeram tajam di arus sungai globalisasi yang deras. Maka fleksibiltas seorang pemimpin untuk beradaptasi dengan situasi dan kondisi menjadi sangat penting. Jika saja tidak demikian adanya, China tidak akan menjadi sebuah Negara yang besar seperti saat ini.

IX. Conclusion
Menjadi seorang pemimpin di era globalisasi tidaklah mudah. Tanpa penginternalisasikan kepercayaan dan nilai-nilai globalisasi ke dalam diri mereka, tidak mungkin seorang pemimpin dapat bertahan mengarungi arus globalisasi. Globalisasi bagaikan sebuah sistem yang subsistem-subsistem di dalamnya saling mempengaruhi satu sama lain. Pemimpin—apapun kelompok atau organisasi yang dipimpinnya—akan memberikan pengaruh yang luas di luar dari apa yang dipimpinnya. Sehingga kualitas pribadi, pikiran, jiwa, pengetahuan, dan moralitas menjadi sangat penting. Komponen apa yang paling penting dimiliki untuk menjadi pemimpin di era globalisasi? Jawabannya adalah tidak ada yang lebih penting diantara pengetahuan dan nilai-nilai dan norma. Semua komponen tersebut harus bekerja secara seimbang di dalam diri seorang pemimpin. Pemimpin haruslah bercita-cita tinggi dan memiliki visi ke depan, tiada henti memperbaiki dan mengembangkan diri, memiliki hati yang lapang, dan memiliki hati yang luhur. Semoga Indonesia memiliki pemimpin-pemimpin yang mampu memimpin dirinya untuk menjadikan Indonesia pemimpin di era globalisasi.

[1] http://www.tec.spcomm.uiuc.edu./nosh/HOCNets.html –Emergence of Communication Networks, Peter R. Monge. Nashir S. Contractor, 1998

Komentar

Postingan Populer