Pembelajaran Dari Mike Mangini Yang Menikmati "Rumah" Yang
Memfasilitasi Diri Untuk Berekspresi
Dapatkan link
Facebook
X
Pinterest
Email
Aplikasi Lainnya
Bermain musik di dalam sebuah grup band adalah suatu hal mengasyikan. Memiliki sebuah grup band bagi seorang musisi sama halnya dengan memiliki “rumah” dimana musisi bisa berkarya bersama dengan saudara-saudaranya. Sama seperti sebuah keluarga, menjalani kehidupan sesama anggota juga memerlukan prinsip-prinsip kekeluargaan seperti kejujuran, saling pengertian, toleransi, saling mengharga, dan seterusnya. Sehingga dalam menjalankan “bahtera rumah tangga” band pun seringkali menjadi tantangan bagi ego individual dalam bermusik. Namun tentu akan menyenangkan jika seorang musisi memiliki visi yang sama dan memfasilitasi ego individual itu sendiri. Seperti yang dialami oleh Mike Mangini yang tahun 2010 bergabung dengan Dream Theater yang sangat syukuri dimana “rumah” barunya tersebut memfasilitasi dirinya dalam berekspresi.
Dream Theater tahun 2010 lalu kehilangan Mike Portnoy, drummer yang sudah 25 tahun (2010) mendirikan dan bermain bersama dengan grup progresif rock tersebut. Portnoy pada saat itu meninggalkan Dream Theater untuk bermain bersama dengan grup rock Avenged Sevenfold. Hal yang mengejutkan ini tentu membuat para fans terkejut Termasuk personil Dream Theater lainnya yang mengaku tidak menyangka kalau hal ini akan terjadi. Dengan kondisi tanpa drummer, maka Dream Theater mengadakan audisi pencarian drummer untuk mengisi posisi Mike Portnoy. Audisi yang terbilang sangat “seru” ini melibatkan 8 drummer terbaik yang pernah ada di dunia, antara lain: Mike Mangini, Aquiles Priester, Marco Minnemann, Virgil Donati, Derek Roddy, Thomas Lang, dan Peter Wildoer. Setelah melalui proses audisi yang cukup menegangkan, akhirnya Dream Theater menentukan Mike Mangini sebagai drummer terbarunya.
Mike Mangini sebelum bergabung dengan Dream Theater pernah bermain bersama Extreme dan Steve Vai. Sebagai seorang yang sangat menguasi tehnik bermain drum, eksplorasi yang dilakukan Mike seringkali tidak bisa dipahami oleh musisi pada umumnya. Sehingga sangat sulit bagi dirinya untuk menemukan “rumah” dimana ia bisa menampilkan seluruh drum set nya yang bisa dibilang sangat jauh dari kata “standard”. Namun dengan Dream Theater, ia merasa berada di tempat yang tepat dan siap untuk berkarya bersama dengan keluarga barunya tersebut. Berikut ini adalah video Mike Mangini memamerkan drum set nya yang digunakan bersama Dream Theater.
Saya menulis ini setalah sehari sebelumnya presentasi ke klien mengenai evolusi gaya hidup Gen-Z yang sekarang ini "katanya" cenderung lebih 'mindful', lebih berorientasi pada kualitas daripada kuantitas, lebih peduli sama kesinambungan, lebih tidak impulsif dalam pengeluaran, dan seterusnya. Dari You Only Live Once (YOLO), berevolusi menjadi You Only Need One (YONO). Dari Fear of Missing Out (FOMO) berevolusi menjadi Joy of Missing Out (JOMO). Mungkin saja tren yang asalnya dari "luar" ini ada benarnya sudah menular ke Indonesia, dan menurut saya evolusi ini cukup baik untuk di adaptasi ke dalam gaya hidup konsumen negeri konoha yang katanya suka banget minum 'Coffee Latte' dan 'Americano' setiap hari. Meskipun informasi mengenai evolusi gaya hidup konsumen Gen-Z ini sudah beredar di dunia maya sejak tahun 2019, dan mulai merebak di tahun 2024, saya yakin informasi yang positif terkait gaya hidup yang "lebih baik" ini belum tentu s...
Perlu dikenali bersama-sama bahwa menjadi pejabat pemerintahan sebuah negara itu tidak mudah dan tanggungjawabnya luar biasa besar. Tugas jabatan menjadi lebih tidak mudah lagi ketika pejabat yang harusnya memikirkan kepentingan banyak orang sementara yang dibenaknya hanya kepentingan kelompoknya. Sehingga ketika berhadapan dengan publik, seringkali pejabat atau politisi harus menjadi "Penyair" yang bermain dengan kata-kata, bersilat lidah, poles sana-poles sini agar publik setidaknya dapat jawaban meskipun tidak benar-benar memuaskan dari yang menjabat. Meski gambar utamanya Barack Obama, artikel kali ini bukan membahas situasi politik Amerika, melainkan situasi politik di Indonesia. Seiring membaca artikel ini, anda akan memahami mengapa gambar Obama ada di artikel ini ( Hope So ). Dari beberapa kasus komunikasi politik yang terjadi di Indonesia, kita bisa sama-sama melihat bagaimana "canggihnya" pemerintah republik ini membingkai persepsi publik. Melalui bingkai-...
The action of burning Korans in Western countries has several times been used as a way to "express" disapproval, dislike, hatred, fear (or whatever) towards Islam. Several acts have occurred in Western countries like Denmark, Sweden and the Netherlands. These acts have made me ask: Did the Koran burners have time to read the contents of the Koran before they burned it? Because, it would be a shame if they haven't read it. Why would someone buy a copy of the Koran just to waste their time and burn it? Salwan Momika Protests Against the Treatment of Christian Minorities in Muslim Countries Sweden, June 2023, an immigrant from Iraq named Salwan Momika burned the Koran in front of the Swedish Parliament and in front of the Stockholm Grand Mosque. His action was carried out to voice his criticism of the treatment experienced by Christian minority groups in Muslim countries. Not only once, Momika burned the Korans three times in public. Recently, January 30 2025, Salwan Momika ...
Komentar
Posting Komentar