Memilih dan Membeli Mobil untuk Memenuhi Kebutuhan Emosional. Salah atau Tidak?

Seorang kawan bercerita mengenai niatannya untuk membeli mobil baru. Lebih spesifik ia ingin membeli sebuah mobil Sport Utility Vehicle (SUV) dengan kategori harga di atas 500juta. Di benak saya muncullah deretan mobil-mobil SUV seperti Mitsubishi Pajero Sport, Toyota Fortuner, Chevrolet Trailblazzer atau Captiva, Hyundai Santa Fe, Honda CRV, Mazda CX5, dan seterusnya. Setelah menggali lebih lanjut, munculah pilihan-pilihan mobil-mobil menarik dan agak ‘membingungkan’ yang disebutkan oleh kawan saya itu. 

Mobil-mobil yang menjadi perhatiannya antara lain BMW X1, VW Tiguan All Space, dan Mazda CX5, VW dan Mazda berada pada range harga 500juta, sedangkan BMW mencuat sendiri di kisaran 700juta-an. Tergelitik dengan pilihan-pilihan tersebut, saya jadi bertanya, kok ada X1 yang bukan SUV ya? Entry level kategori Cross Over dari BMW dengan fitur yang, temen saya pun mengakuinya, sangat minim. Kawan saya juga bercerita bahwa istrinya memilih BMW X1 dibandingkan alternatif mobil lainnya. Sementara pada saat itu dirinya sendiri masih bingung diantara pilihannya.Namun pada akhirnya ia pun memilih BMW X1.z

BMW X1 UK’s Commercial

Pertanyaannya: apakah membeli BMW X1 ketika awalnya ingin membeli mobil SUV adalah pembelian yang rasional atau emotional? Jawabannya bisa jadi emosional ataupun rasional. Beli mobil sudah pasti berbeda prosesnya dengan membeli permen. Beli mobil membutuhkan riset yang luas dan mendalam diantara pilihan-pilihan yang ada. Sehingga cenderung tidak mungkin pembelian mobil itu adalah pembelian yang emosional. Sudah pasti rasional! Tapi tunggu dulu, justru riset perilaku konsumen justru berkata lain: konsumen seringkali dipengaruhi secara emosional, namun cenderung menyangkalnya.

Seorang profesor di bidang pemasaran, Raj Raghunathan mengatakan kalimat sebagai berikut: 

In our Society, it is generally not considered justifiable to make a decision purely on an emotional response […] We want ti be considered scientific and rational, so we come up with reasons after the fact to justify our choice.” 

Fenomena yang dijelaskan di atas disebut dengan istilah Post-Hoc Realization, dimana riset menemukan bahwa seorang cenderung memberikan justifikasi atas pilihan-pilihan emosionalnya dengan alasan-alasan rasional. Pertanyaan lebih lanjut mengenai fenomena ini adalah: apakah Post-Hoc Realization ini berlaku pada semua segmen konsumen atau hanya pada segmentasi menengah ke atas yang berpendidikan yang memiliki apresiasi tinggi pada logika scientific? Apakah fenomena ini juga terjadi oada segmen yang tidak terlalu berpendidikan? Tapi yang jelas kawan saya ini mengaku sangat logic dan memiliki world view yang sangat liberal. Jadi dikaitkan dengan fenomena ini, apakah mungkin kawan saya ini perwujudan fenomena Post-Hoc Realization ini?

Setelah menggali lebih lanjut yang ada di dalam benak dan hati kawan saya ini, saya bisa menyimpulkan bahwa pembelian BMW X1 ini di dominasi oleh motif yang lebih emosional. Bagaimana saya bisa menyimpulkan itu? Ya yang jelas obrolan-obrolan yang terjadi, poin-poin obrolan itu antara lain: 

  • Dari bagaimana caranya bercerita mengenai mobil secara keseluruhan. Terungkap bahwa kawan saya ini sangat mengapresiasi mobil Eropadan menempatkan mobil Eropa di atas “strata” mobil-mobil yang ada. 
  • Dari cerita mengenai orang-orang terdekatnya yang menggunakan mobil Eropa dan mengaitkan mobil tersebut dengan kesuksesan di karirnya. Sehingga muncul asumsi bahwa ada tolok ukur yang mempengaruhi cara pandangnya terkait mobil Eropa dan simbol kesuksesan.  
  • Dari kenyataan bahwa mobil itu sangat minim fitur dan bukan SUV, tapi karena itu BMW, tapi toh kawan saya tetap meilihnya. Walaupun sudah saya dorong agar dia mengambil X5 yang benar-benar SUV dari BMW. 
  • Dari pernyataannya bahwa anak-anak adalah pengambil keputusan dalam pembelian ini. Fitur utama yang dicari oleh anak-anaknya adalah sunroof (what?!). Meski demikian, saya yakin itu cuma bercandanya saja. Pesan utamanya adalah: Hey, money is not the issue for me, bro! Tapi buat saya, it is an issue, because the car is not an SUV, and there are many much better cars, a real SUV, with better features, better value, and with a much better sunroof! Right?! 
https://www.youtube.com/watch?v=44CwmeETbYI
Hyundai Santa Fe’s Commercial

Apakah membeli dengan motif emosional salah? Jelas sama sekali jauh dari kata salah! That’s a human truth. Baik itu pertimbangan emosional maupun pertimbangan rasional, yang jelas pembelian suatu produk atau jasa itu pasti memenuhi kebutuhan tertentu dari manusia, mulai dari kebutuhan dasar (basic needs) sampai kebutuhan aktualisasi diri (self-fullfillment/ self-actualization needs). Termasuk ketika Asisten Rumah Tangga dirumah rela membayar 15juta untuk bayar antrian selama 1 tahun agar Ibunya bisa ketemu dan berobat ke Ustad Danu (seorang Ustad yang biasa meruqyah pasien-pasien yang dihinggapi mahluk-mahluk gaib dan muncul di acara Bengkel Hati, MNC TV) karena suka sesak nafas, daripada dia harus mengeluarkan biaya 500ribu-1juta untuk membeli nebulizer dan obatnya agar sesak nafasnya bisa berkurang. Bagaimapun pertimbangannya, pasti ada kebutuhannya yang terpenuhi.  

Reference:

  • https://learninginalmonte.com/2018/12/06/the-psychology-of-decision-making/
  • https://blog.influencerdb.com/emotional-vs-rational-purchases/

Komentar

Postingan Populer