Ketika Berbahasa Inggris Dianggap Lebih Bernilai oleh Konsumen


Apa-apa yang berbahasa Inggris dipersepsi lebih bernilai dibandingkan dengan yang tidak. Episode ini membahas bagaimana bahasa asing berkontribusi pada perceived value pada produk ataupun entitas lainnya. 






Tahun 2013 kalau tidak salah. Waktu itu saya masih menjadi bagian dari tim Account Planning dari Matari Advertising. Jabatan saya waktu Strategic Planner, tapi karena saya minta kepada pemiliki perusahaan agar bisa handling client, akhirnya saya diberikan kepercayaan untuk meng-handle salah satu account historisnya Matari: Gunung Slamet. Yaitu perusahaan cikal bakalnya Sosro. Brand yang kami kerjakan pada waktu itu adalah Teh Cap Poci. Jabatan saya masih Strategic Planner, hanya saja job descriptionnya ada tambahan seperti layaknya Account Manager. Dan waktu melihat struktur team yang disusun pada waktu itu, jabatan saya Strategic Planner/ Account Manager. Doesn’t matter, this is what I wanted, and I learnt a lot from this experience. Saya tidak akan membahas pengalaman kerja saya, tapi saya mau menceritakan sebuah potongan cerita kecil dari perjalanan kami mengerjakan proyek brand ini. Dan menurut saya ini adalah gambaran umum kita sebagai konsumen Indonesia.

Jadi tahap pertama dari rangkaian pekerjaan dari Teh Cap Poci ini adalah riset, dan ini adalah sebuah hal yang mengejutkan juga buat Matari pada waktu itu karena kebiasaan klien-klien lokal itu kurang research-minded. Tapi kali ini kami meyakinkan pada Gunung Slamet bahwa riset dibutuhkan untuk rekomendasi-rekomendasi yang akan kami berikan. Dan akhirnya dijalankan-lah riset itu. Salah satu tujuannya juga kami ingin mengetahui arah pengembangan produknya seperti apa, sehingga perilaku konsumen tentang menjadi heart and soul dari riset ini. Dan riset ini bukannya hanya survey kuantitatif di beberapa kota besar, tapi saya pun juga berkesempatan untuk observasi langsung ke pasar-pasar lokal di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Perjalanan ini jadi menarik karena saya jadi bisa melihat seperti apa sih konsumen di pasar lokal. Ngomongin pasar ini maksudnya pasar basah. Jadi ya becek-becekan, panas-panasan, dan lain sebagainya. Menarik!

Nah bagian yang mau saya ceritakan adalah salah satu eksperimen yang dilakukan tim sales pada konsumen di pasar. Jadi ceritanya responden disajikan dua jenis teh, dan yang dilihat respoden hanya roasted tea leaves-nya saja. Kemudian responden diberi tahu bahwa yang teh pertama adalah Teh Wangi, teh yang kedua adalah jasmine Tea, dan mereka mencoba minum seduhan teh tersebut. Pertanyaan pertama adalah enakan yang mana? Pertanyaan kedua mahalan yang mana? Jawaban dari responden untuk kedua pertanyaan tersebut adalah: Jasmine Tea. Jadi by perception Jasmine Tea di perceived lebih enak, dan diperceived lebih mahal. But guess what: Kedua teh adalah teh yang sama hanya diperkenalkan dengan cara yang berbeda. Yang satu Teh Wangi, yang satu lagi Teh Jasmine. Keduanya sama-sama teh hitam yang di secara alami di infuse dengan bunga melati. Kesimpulannya apa? Ya cara kita menyampaikan mengemas suatu produk memberikan nilai tambah. Karena berbahasa Inggris, si Teh Wangi ini jadi bernilai lebih di benak konsumen. Kita disini bicara pada konteks konsumen segmen menengah kebawah yang bisa dikategorikan rural ya. Di benak mereka Jasmine Tea defintely lebih mahal. Tapi ini sebenarnya fenomena ini tidak hanya terjadi di kalangan menengah ke bawah saja, segmen menengah ke atas pun juga demikian. Itu menjelaskan juga kenapa brand-brand lokal Indonesia menggunakan bahasa Inggris dalam memasarkan produk atau jasanya. Untuk mendapatkan nilai tambah.

Contoh lain misalnya juga saya pernah diminta oleh seorang senior saya untuk membuat website untuk mendukung kegiatan digital activation dari sebuah brand. Singkat kata saya mendapat brief dan senior saya ini meminta penawaran harga. Tapi ada satu yang mengganggu saya. Saya bertanya: “Perusahaan lu kan bisa bikin website, kenapa minta ke gw sih?” Sederhana dia menjawab: “Kantor gw kemalahan, jadi enggak kompetitif harganya”. Saya pun tertawa terbahak-bahak. Senior saya lebih lanjut menjelaskan: “Dengan spesifikasi yang sama seperti yang minta ke lo, kantor gw ngasih penawaran 700juta! Modalnya cuma slide Bahasa Inggris”. “Tokai”, gw bilang. “itu harga puluhan kali lipat harga gw”! Yaitulah ya, kalau kasus ini tentu karena internal belief perusahaan, dimana mereka merasa multinational company, ada orang bule nya, jago berbahasa Inggris, klien pasti mau beli meskipun gw kasih harga segitu. Padahal perusahaan lokal bisa memberikan spesifikasi yang sama dengan harga yang bikin malu. Malu lah ngasih harga segitu tapi spesifikasi kayak gitu. Karena ‘keminggris’ jadi mahal.

Hal ini juga berlaku untuk tenaga kerja di Indonesia. Yang mampu berbahasa Inggris punya kecenderungan punya gaji lebih besar daripada yang tidak bisa bahasa Inggris. Apalagi yang juga bisa bahasa Mandarin, Jepang, Prancis, multilingual pokoknya. Saya jadi ingat waktu itu pernah interview di sebuah Advertising Agency lokal, waktu saya masih bekerja di Agency Advertising Multinasional, dan jadinya cukup sering swithing languages dari bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Selesai interview, interviewer saya bertanya: “Waktu kuliah dimana? di Amerika? Australia?”, saya jawab waktu, “saya lulusan Jatinangor Sumedang, pak”. Singkat kata saya tidak jadi direkrut karena mungkin rekrutan perusahaan ini sadar kalau saya enggak niat-niat banget pindah kantor waktu itu. Maaf ya pak, mudah-mudahan di lain waktu berjodoh sama saya.

Jadi berbahasa asing dipersepsi lebih bernilai. Padahal kerja itu bukan cuma skill, tapi juga karakter. Lulusan luar negeri juga dipersepsi begitu. Di kampus juga begitu. Dosen A lulusan Universitas dari Malaysia, lulusan dari Amerika, lulusan dari Inggris. Belum tentu juga bisa berkontribusi pada Universitas. Belum tentu bisa berkontribusi pada organisasi seperti lulusan lokal. Jadi ya pesan saya buat para konsumen jangan buru-buru terpengaruh dengan asosiasi bahasa inggris pasti berkualitas. Kembali ke urusan Teh, saya ini suka banget minum Teh. I prefer Tea than coffee. Jadi saya selalu menyediakan Teh di rumah. Untuk Jasmine Tea, saya masih merekomendasikan Teh Wangi-nya merek-merek lokal kita ketimbang merek-merek Teh dari UK sana. Tapi memang untuk Teh yang aromanya infuse rasa buah, saya suka dengan salah satu merek dari Inggris. Blend aromanya itu bikin Teh nya jadi manis meskipun tanpa gula. So, soal makanan dan minuman, percayakan lidah anda, soal sandang percayakan penginderaan anda, soal barang-barang tersier, dengarkan dompet anda, nomor seratuskan emosi anda dalam pengambilan keputusan. InshaAllah konsumsi anda berfaedah dan tepat sasaran.

Komentar

Postingan Populer