Pandemi Pasti Mengubah Perilaku Konsumen Dalam Mengkonsumsi



Covid-19 telah memaksa banyak perubahan di kehidupan manusia di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Episode ini membahas perubahan apa saja yang terjadi selama masa pandemik tahun 2020, prediksi kelangsungan perilaku tersebut paskapandemi, dan apa yang brand harus lakukan. #Covid19 #Pandemic


Pandemi Covid-19 ini telah mengubah banyak hal di kehidupan banyak orang. Perubahan yang terjadi sangat cepat dan juga mengubah aspek-aspek mendasar manusia dalam berkehidupan baik secara individu maupun sebagai mahluk sosial. Salah satu perubahan yang terjadi ada di dunia Pendidikan, dimana mendadak harus dilakukan jarak jauh terlepas dari kesiapan infrastruktur dan kemampuan guru maupun murid dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi (ICT). Dunia kerja juga dengan sangat mendadak harus dilakukan dari rumah. Rapat-rapat penting mendadak dimediasi via video conference dan project yang sebelumnya dikontrol dengan dashboard offline, harus menggunakan dialihkan ke dashboard digital yang bisa diakses oleh tim yang terlibat. Buat yang bekerja di kota-kota besar mungkin adaptasi ke online tidak terlalu sulit. Tapi buat yang tinggal di luar kota besar, dimana kesiapan infrastuktur ICT jauh dari mumpuni, kemungkinan akan sulit. Tidak hanya dunia pendidikan dan dunia kerja, Covid-19 pun juga mengubah perilaku orang dalam mengkonsumsi produk dan jasa. Hal ini tentu menjadi perhatian saya karena sudah pasti, berpengaruh bagi kita semua yang berprofesi sebagai Strategic Planner dalam memberikan rekomendasi kepada klien dalam memesarkan produk atau setidaknya dalam mengkomunkasikan produk atau jasa kepada khalayak sasarannya.

Covid-19 definitely change people’s lifestyle. The latest survey of Jakpat mengatakan bahwa 7 dari 10 orang terpengaruh gaya hidupnya. Setidaknya ada empat point perubahan signifikan yang disampaikan oleh data Jakpat terkait gaya hidup masyarakat selama Covid-19: (1) Kepedulian terhadap personal hyginenic; (2) Peningkatan Aktivitas Online; (3) Kesadaran akan Kesehatan; (4) Munculnya Skill Baru di kehidupan konsumen.

Kita mulai dengan yang pertama, yaitu concern pada personal hygiene. Ini merupakan perubahan yang paling tinggi, yaitu 91% dari responden merasakan perubahan ini. Jakpat menjelaskan personal Hygiene ini terkait perilaku seperti mencuci tangan, menjaga kebersihan diri, kebersihan rumah, membawa hand-sanitizer, dan membersihkan barang-barang dengan disinfektan. Pada realitanya ada orang-orang yang over the top soal personal hygiene ini. My parent-in-law itu bahkan sampai melakukan money laundering, alias uang dicuci pakai sabun kemudian dijemur. Orang yang jarang mandi sekarang jadi sering mandi terutama habis setiap keluar rumah. Brand sabun, shampoo, panen raya di masa pandemik ini. Pertanyaannya, apakah setelah pandemik ini berakhir, apakah perilaku seperti ini akan berlangsung? Asumsi saya perilaku ini akan tetap ada meskipun tidak se-ekstrim ketika pandemi. Item-Item seperti masker dan hand-sanitizer mungkin akan menjadi bagian dari belanja rutin orang-orang. Sehingga barang-barang substitusinya akan juga punya potensi menjadi bagian dari gaya hidup orang paska pandemik.

Perubahan berikutnya adalah soal meningkatnya perilaku online. 83% responden merasakan ini dan sudah pasti terjadi karena semua aktivitas sosial masyarakat tetap bisa berlangsung dengan mediasi via online ini. Tidak hanya mediasi interaksi sosial, kegiatan seperti entertainment, shopping, kerja, sekolah, reuni, nikahan, acara ulang tahun, seminar, kolaborasi, pameran, dan lain-lain semuanya dilakukan online. Layanan-layanan streaming jelas panen raya terutama Youtube dan Netflix. Drama Korea menjadi cultural product on the spotlight. Transaksi online pun meningkat. Survei dari DBS menyatakan bahwa belanja melalui E-Commerce meningkat 3 kali dari sebelumnya. Karena konsumen meminimalisir datang ke swalayan, akhirnya mendorong perilaku stockist, dimana kalau bisa konsumen itu nyetok barang sehingga tidak perlu berkali-kali datang ke Swalayan. Saya mungkin juga salah satu yang kena ya. Kemarin sempat beli krim kulit dengan paket harga luar biasa. 100 ribu rupiah dapat krim, lip balm, hand body serum, dan hand body moisturizer. Bukan produk yang biasa saya beli, tapi it looks like a good deal so I went for it. Kegiatan time-discount juga jadi favorit konsumen. Papa saya baru menjadi pengguna Tokopedia di bulan Maret 2020, dan di bulan Desember 2020 dia sudah menjadi Diamond Member dari Tokopedia. Benar-benar karir belanja yang sangat impressive bukan? Hampir setiap hari belanjaan online papa saya, mulai dari makanan, perkakas, barang elektornik, diantarkan ke rumah. Kurir yang mengantar pun sampai kenal. Wow! Layanan Food Delivery via aplikasi juga meningkat. Restoran shift dari dine-in service jadi online service. Restoran-restoran di hotelpun juga demikian. Okupansi hotel jelas habis-habisan. dari ratursan kamar bisa hanya terisi 1 - 7 orang. Dampak ekonominya sangat buruk. Jadi layanan-layanan online meningkat semuanya. Saya sebagai salah satu pengajar di salah satu Universitas pun pada akhirnya mengekplor berbagai layanan online yang tersedia agar kegiatan mengajar online lancar, data aman, dan tidak perlu swiching aplikasi terlalu banyak.

Pertanyaannya apakah perilaku mediasi online ini dan kebergantungan pada layanan online ini akan berlangsung terus paska pandemi? Asumsi saya masih akan bertahan meskipun akan dikombinasikan dengan kegiatan offline. Karena bagaimanapun banyak sekali orang udah ingin segera kembali ke kantor, ke kampus untuk kembali bekerja. Jadi buat brand menurut saya harus segera mematangkan infrakstruktur digitalnya.

Yang ketiga adalah kesadaran akan kesehatan juga meningkat banget selama pandemik ini. 64% setidaknya orang merasakan ini. Orang yang tadinya tidak Yoga, jadi ikutan Yoga. Orang yang tadinya tidak sepedahan, jadi ikutan sepedahan. Entah terbawa karena kebutuhan kesehatan atau karena terdorong animo trendingnya brompton, tiba-tiba saja orang-orang jadi bersepeda. Ada survei dari iprice yang mengatakan selama periode Pebruari-Maret 2020, pencarian dengan kata kunci “Sepeda Polygon” meningkat sebanyak 1036%! itu bukti bahwa bersepeda lagi trending, dan juga bukti bahwa although Bromptons are made from the UK for brand-minded Indonesians consumers, but most Indonesian still choose Polygon. Sorry Brompton. Anyway the point is that the awareness to stay and maintain health is increasing. Terlepas itu terbawa trend atau kesadaran fundamental diri sendiri, itu bagus sekali. Selain itu konsumsi vitamin dan supplement pun juga meningkat drastis. Mungkin nanti yang tadinya anti-vaksin jadi pro-vaksin. Who knows?

So, apakah heatlth concern ini akan terus berlangsung? Jelas kalau itu! Trend ini sudah dibicarakan 1 dekade terakhir di Indonesia, meskipun jumlahnya waktu itu masih sedikit. Tapi dengan “bantuan” pandemik ini, jumlah masyakat yang peduli akan semakin meningkat. So, consumer brands dengan health attribute definitely mendapatkan amunisi.

Yang terakhir, meski jumlahnya kurang dari 50%, yaitu 46% responden dari survey Jakpat ini menyatakan bahwa mereka menambah skill baru selama pandemik ini. Berdasarkan observasi yang saya lakukan juga, hal ini memang benar adanya. Sebut saja Working moms. Selama pandemik ini mungkin segmen ini adalah segmen yang cukup repot. Ternyata kerja di rumah bukannya makin santai, tapi malah makin banyak pekerjaan. Tapi terlepas dari banyak pekerjaan di rumah, mereka juga menyadari bahwa ternyata banyak juga waktu yang bisa digunakan untuk diri sendiri. Ngurus anak kan enggak 24/7. Anak-anak ada tidurnya, ada istirahatnya. Yang punya ART di rumah bahkan lebih terbantu lagi. Sehingga banyak dari kita yang tiba-tiba sadar, hey, ternyata waktu buat gw dan keluarga di rumah, meskipun sibuk, itu banyak ya. Akhirnya buat mereka yang enggak bisa stay idle, ini jadi kesempatan buat mereka meng-upgrade diri. Ada yang belajar bahasa baru. Ada yang belajar serius mendapatkan sertifikat trainer untuk pillates. Ada yang biasanya tidak masak jadi belajar masak. Spesifik soal masak, bahkan sampai ada yang memutuskan serius untuk bikin bisnis kuliner. Ternyata ide itu memang muncul saat-saat kita terjepit ya, dan pandemik ini one those times. Data ini menandakan bahwa hampir 50% masyakarat Indonesia punya survival yang tinggi, dan menambah skill selama pandemik itu jadi buktinya. Memang saat pandemik ini banyak orang yang kena lay-off, tapi dengan skill baru inshaAllah terbuka lagi kesempatan baru. Mungkin juga jasa freelancer akan meningkat pesat paska pandemik ini. Buat brand ini jelas jadi signal bahwa banyak kok orang Indonesia yang suka dengan hal-hal yang bernutrisi. Jadi jangan hanya berpikir untuk entertain people dengan hal-hal yang receh terus, tapi coba berpikir brand itu bisa berperan apa dalam meningkatkan taraf hidup konsumen. Upgrading people skill mungkin salah satu cara, tapi masih ada ide-ide lain yang bisa diterapkan. Singkatnya, banyak pelajaran yang bisa diambil selama pandemik dan mudah-mudahan bisa diterapkan untuk pengembangan arah brand ke depan.

Komentar

Postingan Populer