Gunakanlah Identitas Ke-Indonesiaan Kita Untuk Memilih Pemimpin Yang Kompeten

Kita sudah memasuki tahun politik. Wajah-wajah Kandidat capres dan cawapres sudah mulai bermunculan. Drama-drama politik dan berita negosiasi antar partai pun sudah mulai mewarnai tajuk utama dan linimasa di media sosial. Saya sungguh berharap pemilu 2024 ini tidak lagi diwarnai dengan politik identitas yang memecah-belah. Kita ini Indonesia, Bhinneka tunggal Ika. Maka abaikanlah sejenak identitas kesukuan kita, gunakanlah nilai-nilai Agama yang baik, dan gunakan pengetahuan kita untuk Indonesia yang lebih baik untuk semua warganya.







Transcript:
Kita sudah memasuki tahun politik. Wajah-wajah Kandidat capres dan cawapres sudah mulai bermunculan. Aktivitas media sosial pun sudah semakin lebih aktif. Drama-drama politik dan berita negosiasi antar partai pun sudah mulai mewarnai tajuk utama dan linimasa di media sosial.  Buzzer-buzzer juga sudah mulai beraksi, memuji-muji junjungan politiknya untuk hal-hal yang seringkali tidak substansial. Ya seperti kemampuan berbahasa Inggris seorang kandidat misalnya. Bukannya saya mendiskreditkan kemampuan seseorang dalam bahasa Inggris, karena pada dasarnya itu juga hal yang cukup penting, namun bukanlah faktor yang paling utama ketika kita akan memilih seorang presiden atau wakil presiden. Kemudian puja-puji itu ditanggapi oleh oposisinya, sehingga jadilah keramaian yang tidak penting dan tidak produktif di media sosial. Dan mohon maaf kadang-kadang diskusinya pun isinya hanya umpatan-umpatan yang tidak pantas dan mencerminkan bahwa pemilih kita tidak menggunakan kecerdasannya dalam berargumentasi. Tapi ya begitulah indahnya demokrasi Indonesia yang masih seumur jagung ini. Saya sungguh berharap pemilu 2024 ini tidak lagi diwarnai dengan politik identitas yang memecah-belah.

Pemilu 2017 dan 2019 ini benar-benar tragis dan traumatis. Politik identitas terasa banget efeknya pada kerukunan bermasyarakat. Kerukunan keluarga besar saya mungkin salah satu yang terdampak akibat berbeda pilihan. Gara-gara Saya mendukung seseorang minoritas yang waktu itu menurut saya paling kompeten dalam memberantas budaya korupsi, saya sampai di cap bukan Islam, punya masalah aqidah, sampai-sampai saya ditantang mengaji oleh salah satu Paman saya yang saya asumsikan terdampak pendapatannya akibat hilangnya pundi-pundi korupsinya di masa jabatannya Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta pada waktu itu: Joko Widodo, Basuki Tjahaja Purnama, dan Djarot Saiful Hidayat.

Semasa kampanye saya mengalami disonansi ketika beberapa lingkaran terdekat saya menyatakan bahwa saat ini Islam berada di dalam peperangan. Sementara di satu sisi saya melihat dan merasakan bahwa peperangan yang di digembar-gemborkan itu tidak ada. Bagaimana tidak? karena saya masih bisa sholat dengan tenang dimanapun saya berada di bumi Indonesia, saya masih mendengar Adzan berkumandang di masjid-masjid, semuanya masih baik-baik saja bagi saya seorang muslim yang lahir dan besar di Jakarta. Tiba-tiba ada kelompok yang menyatakan sebagai pejuang Islam tapi menyuarakan hal-hal yang cukup menakutkan dan sayangnya mencoreng nama Islam sebagai agama yang damai.

Saya jadi bertanya-tanya: kenapa perjuangan pada kekuasaan harus sampai memecah kerukunan umat beragama bahkan di antara umat muslim sendiri. Karena saya selalu ingat cerita di zaman sahabat dulu, orang-orang yang Berserah diri kepada Allah benar-benar takut ketika diberikan kekuasaan karena tanggung jawabnya yang besar. tapi kok sekarang orang-orang yang memperjuangkan Islam ini malah menggunakan segala cara untuk mencapai kekuasaan. Tapi yasudahlah, yang sudah berlalu biarlah berlalu.

Pilpres 2019 juga kejadian yang lucu. Masyarakat ribut mati-matian membela junjungan politiknya. Eh, ternyata ujungnya perbedaan pilihan itu sia-sia untuk diributkan. Karena pada akhirnya tokoh-tokoh junjungan kita bersama bersatu dan berkoalisi untuk membangun negeri ini bersama-sama. Sebuah ujung yang indah dan tentu menjadi pembelajaran buat kita yang terlalu fanatik. kalau soal politik enggak usahlah terlalu fanatik. Apalagi fanatiknya karena ketokohan, bukan pada ide atau gagasan yang disampaikan. Jangan sampai Indonesia nanti ke depannya memilih presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat karena dia Jawa, karena dia Arab, karena dia bukan Cina, karena dia NU, Karena dia kader partai tertentu, Karena dia anggota organisasi tertentu, dan seterusnya. Saya harap Indonesia memilih Presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat karena dia orang Indonesia yang memiliki ide, gagasan, serta tahu langkah-langkah yang akan dilakukan untuk mencapai visi ke-Indonesiaannya. Bukan cuma Janji Manis yang abstrak dan tidak membawa Indonesia pada kemajuan.

Kita ini Indonesia, Bhinneka tunggal Ika. Maka abaikanlah sejenak identitas kesukuan kita, gunakanlah nilai-nilai Agama yang sejalan dengan kerukanan bermasyarakat dan rahmat bagi seluruh mahluk di dunia, dan gunakan pengetahuan kita yang kita ketahui tentang peradaban maju untuk memilih kandidat yang paling kompeten untuk membawa Indonesia ke arah yang lebih baik untuk semua warganya.

Komentar

Postingan Populer