Jangan Memperkerjakan Orang Kreatif Jika Pimpinan Tidak Paham








Dulu Saya punya klien sebuah bank konvensional. Waktu itu Project yang saya kerjakan adalah mengelola aset media sosial mereka. situasinya Ketika saya bekerja untuk mereka adalah industri perbankan itu secara umum kalah telak oleh perusahaan-perusahaan Rintisan teknologi keuangan, Apa yang sering kita sebut dengan fintech. Kata “Dikalahkan” ini konteksnya kalau bicara soal fintech sudah pasti dikalahkan soal valuasi perusahaan. Start-Start Up Fintech yang baru berdiri 2-5 tahun, valuasinya sudah mencapai 1 Milyar USD. Sementara klien saya ini, beridiri sejak 1970, dan ditahun 2017 waktu itu, valuasinya berdasarkan ucapan bos nya bank itu baru 9 Triliun Rupiah. Sehinga melihat situasi tersebut, para bos-bos bank itu memutuskan kita harus bisa “seluwes” para fintech companies itu agar bisa bergerak lebih cepat, berinovasi lebih cepat, dan bertumubuh lebih cepat. Tapi memang dasarnya Bank adalah kategori bisnis yang harus mengutamakan keamanan dan kehati-hatian, terlebih lagi sudah bertahun-tahun lamanya sistem perbankan sudah teruji dan berfungsi seperti itu, maka pada waktu itu diputuskanlah oleh bank tersebut untuk membuat sebuah divisi, atau task force atau apapun itu namanya yang berfungsi sebagai inkubator start up-start up fintech, yang harapanya nanti inkubator tersebut melahirkan ide-ide start up yang berkembang dan bisa menjadi aset perusahaan yang valuasinya bisa mencapai level unicorn. Di tahun sebelumnya Gojek kalau tidak salah baru menjadi Unicorn.

Singkat kata si inkubator ini agar bisa bergerak lebih “cepat”, maka bos-bos bank itu bilang bahwa mereka harus mengubah budaya kerja tradisional gaya bank saat ini menjadi budaya kerja yang lebih kreatif. Salah satu wujud yang dijelaskan pada saat itu sebagai budaya “kreatif” di acara peluncuran inkubator tersebut adalah gaya berpakaian saat kerja yang harus lebih bebas. Katanya kalau orang kreatif kalau kerja pakaiannya bebas, kadang pakai celana pendek, pakai kaos, pakai sendal, dan seterusnya. Tapi, terus terang saat itu saya berkomentar dalam hati waktu itu… haduh itu “cetek dan sangat kosmetik sekali ya.. Oke misalnya pakaian sudah “dibebaskan”, tapi kalau bos-bosnya tidak sepenuhnya berubah mindsetnya, masih ada sekat-sekat organisasi yang tebal, birokrasi yang bertele-tele, hierarki yang berdiri berdasarkan lamanya kerja, senioritas, dan usia, tidak mau belajar perkembangan teknologi dan menerapkan metode kerja yang konvensional, ya jangan harap inkubator “kreatif” itu akan menjadi organisasi yang kreatif. Kalau seperti Itu kejadiannya sama saja dengan kura-kura pakai topeng kuda, atau sama saja dengan manusia bermindset jompo tapi bersolek ala steve jobs. Emangnya lu pikir setelah lu pake baju turtle neck hitam lengan panjang, celana jeans, sneakers, terus pakai kacamata dengan frame kekinian, kerja pake macbook pro akan membuat lu jadi kreatif gitu? Mimpi di siang bolong itu namanya.




Ngomongin Macbook Pro, saya jadi inget ada universitas swasta di Indonesia, dimana para jajaran pimpinan universitasnya yang usianya sudah cukup senior, dengan uang yayasan belanja macbook pro dengan spek tinggi, yang mana pekerjaan mereka sehari-hari mungkin hanya rapat dan utamanya mengambil-keputusan-keputusan strategis untuk universitas. Lalu pertanyaan macbook pro nya buat apa? Apakah Macbook Pro itu berguna untuk pekerjaan sehari-hari mereka? Kalau fungsinya untuk menunjukkan bahwa saya pimpinan dan saya layak untuk mendapat fasilitas lebih mewah, ya Macbook Pronya jelas berfungsi. Tapi realitanya mereka mungkin ngetik juga enggak, ngedesign juga enggak, memproses visualisasi data juga enggak, membuat presentasi mungkin juga anak buahnya melakukan. Ini malah anak buahnya yang banyak mengerjakan pekerjaan-pekerjaan “admin dan kreatif” mereka malah di budgetin 7juta - 8 juta buat belanja laptop yang mana sebenarnya level staff itu lah yang membutuhkan laptop dengan performa tinggi. Universitas loh ini, yang seharunya menjadi tonggak perubahan tapi pola pikirnya seperti jaman feodal dulu. Tapi yasudah, pembahasan intinya bukan itu.

Inti yang dibicarakan di sini adalah tentang memperkerjakan orang kreatif. Yang mana bos-bos ber mindset tua harus tahu. Karena banyak bos-bos maunya organisasi yang mereka pimpin bekerja “sekeren” perusahaan kreatif, dan akhirnya end up memperkerjakan anak-anak muda kreatif yang punya potensi untuk menjadi staff mereka. Yang mana hal itu itu adalah hal percuma kalau bos nya sendiri mindset nya masih berada di era revolusi industri manufaktur dan ekonomi pabrik-pabrik. Sekarang kita sudah ada di era revolusi industri 4.0 dan era masyakat 5.0 pak/ bu. Mindset 1.0 itu udah usang. Nah kalau kayak begini kasusnya, biasanya bos-bos itu pada akhirnya mewariskan budaya birokrat yang akhirnya mengubah anak muda kreatif yang mampu bertahan hidup di dalam lingkungan yang kolot tersebut menjadi birokrat lelet berikutnya. Karena anak muda kreatif yang merasa dieksploitasi macam mesin pabrik itu pada akhirnya berkontribusi di lingkungan yang lebih progresif.

Untuk para bos-bos yang berlagak Siap Kreatif, saya ingin mengutip seorang profesor di bidang psikologi klinis yang kontroversial dari Universitas Toronto, Kanada bernama Jordan B. Peterson. Kurang lebih kalimatnya begini: “Creative People Are Useless at the Bottom of the Dominance of Hierarchy”. Artinya kalau anda berpikir untuk merekrut orang kreatif untuk posisi staff level bawah, maka sesungguhnya anda sedang merekrut orang yang salah untuk posisi yang salah. Kenapa? Karena orang kreatif itu berbeda dengan orang yang tidak kreatif. Cara kerja otak nya berbeda, kebutuhan intelektulitasnya berbeda, metode-metode kerja yang digunakan bisa jadi berbeda dengan struktur yang sudah dibuat sebelumnya, sensitivitas dalam menerima dan merespon stimuli-stimuli lingkungan kerjanya juga berbeda. Jadi kalau pak bos dan bu bos mengharapkan orang kreatif yang ditempatkan di level bawah itu akan bekerja sesuai dengan arahan dengan hasil yang diharapkan, maka siap-siap saja kecewa. Kalau anda menyuruh orang kreatif untuk jadi notulen untuk rapat yang bertele-tele dan tidak penting, menyruh orang kreatif untuk berpikir linier, dan seterusnya, maka Orang kreatif itu hanya akan menjadi pekerja level bawah yang tidak perform karena tidak mengikuti arahan atasan dan berisiko gagal dalam mencapai target yang ingin dicapai.

Lagi-lagi contoh di dunia akademisi atau universitas. Dosen itu tugasnya adalah melakukan Tridharma perguruan tinggi, yaitu pengajaran, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat. Jadi sudah seharusnya syarat utama untuk menjadi Dosen adalah daya kreativitas nya dalam menginterpretasikan dan menghasilkan konklusi dari fenomena dan bidang yang dikajinya. Seperti yang Albert Einstein bilang: “Creativity is intelligence having fun”. Dan kutipan lainnya “The True Sign of Intelligence is not knowledge, but imagination”. Tapi apa jadinya jika Dosen-Dosen yang harusnya kreatif dan imaginatif ini dibebani pekerjaan administratif dan mengumpulkan poin-poin Beban Kinerja Dosen tiap semesternya. Akhirnya Dosen-Dosen itu menjelma menjadi petugas administrasi yang kreatif dan bersiasat untuk mengumpulkan kum dengan salah satunya memanfaatkan karya tulis mahasiswa atau nebeng nama sebagai penulis kedua, ketiga, bahkan keempat dengan dosen-dosen yang masih rada produktif menulis. dan akhirnya Dosen-Dosen itu lupa dengan kewajiban mereka untuk berimajinasi dalam rangka pengembangan ilmu. Itulah jadinya ketika orang-orang kreatif direkrut oleh instansi yang dari atas-atasnya memang tidak kreatif. Sekarang kemendikbud punya Menteri seorang pendiri StartUp besar di Indonesia. Seorang Technopreneur. Tapi apakah itu mengubah dunia akademisi menjadi lebih kreatif? Tentu tidak. Karena di level universitas masih bertengger burung-burung tua yang mempertahankan marwah status sosialnya sebagai seorang Rektor, Dekan, Wakil Dekan, Profesor, Doktor, dan seterusnya. Kita akui saja bahwa masih banyak doktor-doktor dan profesor-profesor di Indonesia yang memandang mas Menteri pendidikan kita dengan sebelah mata karena merasa mereka sudah lama berkiprah di Industri Pendidikan, bergelar doktor dan profesor, maka mereka merasa lebih hebat. Jadi tidak cukup Menteri nya saja dimudakan. Di Level Universitas juga harus dimudakan. Dan mudakan ini bukan berarti usia ya. Karena saya kenal sama pejabat kampus yang usianya lebih muda dari saya tapi entah karena jabatan atau karena budaya masyarakat yang berlaku akhirnya si pejabat yang usia lebih muda dari saya ini tidak mau mengakui dirinya millennial, menua-nuakan dirinya seolah dia lebih tua dari saya, tapi pada kesehariannya dan kebijakan-kebijakannya menunujukkan bahwa kawan ini hasil bentukkan pimpinan-pimpinan terdahulu yang tua dan budaya-budaya masyarakat yang kolot.




Anyway, Jadi universitas itu bisa saja branding bahwa mereka keren dan kekinian dengan memberikan tagline “kreatif” dan lain sebagainya, tapi secara nyata dunia universitas di Indonesia secara keseluruhan belum siap menjadi “kreatif”. Tidak heran kalau di Indonesia Universitas itu belum bisa menjadi motor inovasi di industri dan selalu ketinggalan sama industri itu sendiri. Akhirnya para pekerja-pekerja kreatif tersebut memutuskan meninggalkan tempat kerja yang tidak kreatif tersebut. Makanya tidak heran banyak ilmuwan-ilmuwan hebat Indonesia yang inovatif memilih mengabdi di universitas di luar negeri daripada di dalam negeri yang sehari-hari ribut soal kekuasaan kampus, rebutan jumlah kelas yang diajar, menyusun proposal-proposal riset tidak berguna, melakukan pengabdian yang tidak sesuai bidang keahlian, dan seterusnya.

Lalu kalau misalnya anda sudah kadung memperkejarkan orang kreatif di perusahaan anda, lalu bagaimana cara mempertahankan orang-orang kreatif tersebut agar tetap berada di dalam perusahaan? Ya salah satunya sesederhana dengan cara memberikan mereka ruang dan apresiasi kinerja atas mereka yang positif. Tetap berikan target pada mereka yang harus dicapai sebagai indikator keberhasilan dan dorongan bagi mereka untuk disiplin pada target. Tidak hanya memberi target, pak Bos dan bu bos juga harus kasih contoh what to do and how to do. Konsisten dengan ucapan dan perilaku. Akui kelebihan-kelebihan dan pengalaman-pengalaman yang mereka miliki, dan manfaatkan kelebih-kelebihan tersebut untuk mencapai tujuan organisasi dan bukan “mengeksploitasi”.

Satu hal yang kurang di Indonesia adalah recognition culture. Sudah terlalu lama Indonesia itu mempertahankan budaya senioritas yang tidak berguna. Apalagi kalau senioritas itu sekedar dilihat dari umur atau dari lamanya orang tersebut bekerja di suatu perusahaan. Karena menurut pengalaman kerja saya, lamanya orang bekerja dan usia itu tidak berbanding lurus dengan kinerja dan pengembangan diri. Kalau anda tidak bisa mengapresiasi bawahan, tidak mampu mengakui kekurangan anda dan mengakui kelebihan-kelebihan bawahan anda, karena takut hilang kewibawaan anda sebagai pemimpin, lupakan saja harapan anda untuk merekrut orang kreatif. Jadi, jika anda ingin organisasi anda perform lebih “kreatif”, saran saya adalah mulailah dari mengubah mindset anda dulu sebagai pemimpin perusahaan.

Komentar

Postingan Populer