God Bless Capitalism! Long Live Consumerism!

Beberapa minggu yang lalu saya mendapatkan pertanyaan dari teman-teman akademisi dari sekolah tinggi Ilmu Komunikasi dan sekretari Tarakanita di dalam sebuah konferensi komunikasi Humanis yang diselenggarakan oleh Universitas Tarumanegara. Pertanyaannya sangat sederhana namun terasa begitu sulit untuk saya jawab. Saya sebagai pekerja di industri periklanan pada dasarnya adalah antek antek kapitalisme yang selalu berpihak pada pemilik modal, pemilik perusahaan, atau Pemilik brand, Dan mendorong masyarakat untuk terus mengkonsumsi lebih banyak. tidak hanya mengkonsumsi satu atau dua kali, tapi mengkonsumsi berkali-kali. Tidak hanya membeli satu atau dua item barang, tapi kami mendorong pembelian agar dilakukan rutin dan loyal. Tidak hanya mengkonsumsi barang yang benar-benar dibuthkan, melainkan juga mendorong agar masyarakat mengkonsumsi barang-barang yang mereka inginkan meskipun tidak dibutuhkan. Karena pada prinsipnya konsistensi dalam konsumsi barang-barang, apalagi mengkonsumsi barang secara berlebih itu baik untuk kesinambungan ekonomi dan tentu membahagiakan pemilik modal. Dan jika pemilik modal itu happy, maka kami para penggerak roda kapitalisme dan konsumerisme akan mendapatkan reward berupa penghargaan yang bentuknya bisa berupa uang pendapatan, bisa piala sebagai agency terbaik, bisa diberikan proyek-proyek berikutnya, dan seterusnya. Yang pada akhirnya segala yang kami dapatkan dari pekerjaannya kami, akan kami gunakan kembali untuk mengkonsumsi barang-barang dari khususnya barang-barang yang diproduksi oleh si pemilik modal. Ya begitulah siklus kehidupan kami yang indah ini.





Pertanyaannya dari teman-teman Starki pada waktu itu adalah: Bagaimana caranya kita bisa mengatasi masalah konsumerisme? Dan Bagaimana caranya agar kita tidak menjadi orang yang konsumtif. Di tengah forum itu, Yang di dalamnya ada teman-teman dosen dari Universitas Islam Riau, dosen dosen dan mahasiswa mahasiswi starki, dosen dosen dan mahasiswa Universitas Tarumanegara, dan kampus lainnya, Jujur saja saya agak sedikit terbata-bata menjawabnya. Dengan lugas saya langsung menjawab waduh Sore juga ya menjawab pertanyaan itu, yang akhirnya membuat kawan-kawan Dosen di dalam ruangan virtual tersebut tertawa. Tertawa mungkin karena kepolosan saya dalam mengakui kebingungan saya untuk menjawab pertanyaan tersebut, dan mungkin tertawa karena prihatin bahwa pertanyaan ini tidak ada jawabannya. Saya pun menjawabnya dengan setengah tertawa karena ternyata Apa yang sedang saya cari jawabannya selama ini sudah ditanyakan di forum itu. Walhasil walhasil Akhirnya saya pun menjawab dengan polos dengan mengatakan saya tidak tahu jawabannya. selama ini saya selalu membela kepentingan kapitalis dan jarang sekali saya diminta untuk berempati pada konsumen. dan tiba-tiba di forum ini secara mendadak saya diminta berempati pada konsumen yang mana saya tidak bisa memformulasikan jawaban yang tepat. Saya pun merasakan kegelisahan kawan-kawan Starki ini, dan saya pun merasakan konflik nilai di dalam hati saya sebagai seorang Muslim terkait konsumerisme ini dan bahkan sebagai pelaku yang mendukung keberlanjutan konsumerisme di masyarakat. Konflik hati ini yang membuat saya berusaha untuk mencari dan memahami peran konsumerisme dalam kehidupan sehari-hari kita sebagai manusia yang berakal.

Konsumerisme adalah sebuah kondisi yang dilandasi ideologi yang membuat seseorang atau konsumen, baik itu secara individual ataupun secara kolektif, melakukan kegiatan konsumsi atau menggunakan atau memakai barang-barang hasil produksi secara berlebihan dan cenderung tanpa menilai manfaat dan urgensi dari konsumsi yang dilakukan. Seorang sosiolog dan filsuf asal Prancis bernama Jean Baudrillard mengatakan konsumerisme itu sebuah budaya yang dimana hasrat mendorong kita untuk mengkonsumsi secara terus menerus. Maka dari gambaran tersebut, konsumerisme ini selalu dipandang sebagai sesuatu yang negatif atau tidak baik. Dan di identikkan dengan pemborosan dan hedonisme yang mana sebuah perilaku, pola pikir, dan tindakan seseorang yang selalu didasari untuk mendapatkan kebahagiaan, kesenangan dan kenikmatan sebagai sebuah tujuan hidup. Sementara gambaran situasi seperti ini rasanya sudah Wah begitu melekat di masyarakat kita saat ini terutama di kalangan masyarakat perkotaan yang yang setiap harinya terekspos dengan berbagai macam informasi dari berbagai sumber, Akses terhadap limpahan barang barang dan pasar yang sangat terbuka, di sepanjang mata memandang kita melihat Pusat-pusat perbelanjaan, tempat-tempat hangout dan pusat-pusat aktivitas masyarakat atau komunitas yang keren dan kekinian, Mall-mall yang megah dan menjulang tinggi yang senantiasa dikunjungi oleh orang-orang yang keren keren, bermobil mewah, Berpakaian dan menggunakan aksesoris branded, bergelimang perhiasan-perhiasan yang berkilau, Dan di malam hari suasana terasa begitu hidup dengan indahnya lampu-lampu warna-warni yang gemerlap. Semakin membuat dunia terasa indah dan memberikan dorongan dalam diri kita untuk menjadikan this exhibition of things and values, atau pameran barang-barang dan nilai-nilai yang kita lihat sehari melalui berbagai media maupun secara langsung sebagai tujuan hidup atau life goal.



Lalu kembali kepada pertanyaan dari teman-teman dosen, bagaimana kita bisa membuat diri kita tidak konsumtif dan tidak mengkonsumsi barang-barang secara berlebihan? Ya untuk saat ini yang bisa saya jawab adalah dikembalikan lagi kepada masing-masing individu untuk mengendalikan hasratnya untuk mengkonsumsi. Dan itu adalah Jawaban yang menurut saya juga sangat standar dan saya pikir semua orang tahu juga bahwa ya tinggal diri kita aja dalam menyikapi stimulasi-stimulasi yang ada di sekitar kita untuk mengkonsumsi secara berlebih. dan secara sederhanan saya tidak memiliki jawaban lain yang lebih baik dari itu. Karena itu adalah basicnya. Meskipun saya banyak melihat konten-konten yang beredar di media sosial maupun di media sharing platform yang mengulas tentang bobroknya sistem ekonomi berbasiskan kapitalisme, Konten-konten tentang bagaimana meruntuhkan kapitalisme, dan membahas tentang betapa beracunnya konsumerisme…. Bukan saya merendahkan perspektif tersebut dan tidak mengapresiasi upaya kawan-kawan ini dalam membuat sebuah karya dokumenter dan lain sebagainya, tapi Saya merasa semua wacana-wacana kritis itu justru hanya menjadi sebuah pembahasan yang utopis, Kritis tapi tidak realistis, sehingga analisis yang fantastis itu hanya menjadi hisapan jempol yang mengantarkan kita pada mimpi di siang bolong. Maka wacana-wacana kritis mengenai konsumerisme, mengenai kapitalisme, menurut saya menjadi wacana yang tidak berguna dan tidak memberikan solusi konstruktif bagi mayoritas masyarakat dalam menyikapi sistem ekonomi yang sudah begitu established, terbentuk secara alamiah, dan bahkan juga diakui oleh para manusia-manusia yang memiliki paradigma kritis sekalipun. Seberapa jauh sih manusia-manusia berparadigma kritis Ini bisa menangkal atau menghindari nilai-nilai konsumerisme. Seberapa jauh sih manusia-manusia kritis Ini bisa mengubah mayoritas masyarakat yang secara alami memiliki kebutuhan untuk mengkonsumsi. Toh kita masih melihat orang-orang yang dianggap punya ilmu dan menganut kepercayaan tertentu dan menganjurkan agar tidak konsumtif, sabar menghadapi cobaan dunia, tidak mengejar dunia, dan lain sebagainya, tapi dengan segala keterbatasannya sebagai manusia mereka menggunakan mobil-mobil eropa, meskipun sudah tua mobilnya, tapi karena merek eropa yang dipandang memiliki nilai lebih, jadi harus pakai mobil merek tersebut. Guru-guru kita yang mungkin kebutuhan pekerjaannya tidak mengharuskan menggunakan laptop berperforma tinggi, tapi karena mereka tahu bahwa produk-produk Apple sangat keren dan penggunanya dianggap orang kaya, akhirnya mereka pun membeli produk Apple karena mereka ingin memiliki bukan karena mereka butuh untuk menyelesaikan pekerjaannya. Jadi sejauh manapun manusia mulia ini berjalan, nilai-nilai konsumerisme ini terus mengikuti. Jadi mengkritisi kapitalisme ini cuma jadi gaya-gayaan aja. Giliran ditabok pakai uang, mobil mewah, barang branded, langsung manut sama kapitalis. Yagakpapa berwacana, karena itu petanda kalau seseorang itu berpikir. Lebih baik berpikir daripada tidak sama sekali.


Lanjut lagi, akhirnya wacana-wacana kritis Ini hanya menjadi dongeng yang mengagumkan, dan aktivis aktivis anti kapitalis ini hanya menjadi pengganggu dari sebuah keteraturan yang ingin dibangun oleh Para kapitalis tentunya. Mungkin anda akan berpendapat bahwa saya sebagai orang “kanan” yang mendukung globalis dan oligarki. Tapi ya terserah anda melihat saya sebagai apa, tapi yang jelas paradigma realist saya melihat ini sebagai situasi yang tidak dapat dihindari, dan untuk menyikapi ini persoalan ini tidak bisa kita menggunakan paradigma kritis yang anti-dominasi, melainkan melalui paradigma yang konstruktivis. Karena sesungguhnya kalau teman-teman kritis ini mau melihat lebih dalam ke dunia kapitalis, maka teman-teman akan menyadari bahwa sistem dikonstruksikan agar bisa langgeng. Jika tujuan anda mencari solusi, maka yang harus dilakukan adalah bukan mengkritisi sistemnya, melainkan menguak bagaimana konstruksi ini dijaga agar terus berlangsung.


satu hal yang harus kita sepakati adalah konsumsi itu adalah sesuatu yang alami. Agar bisa bertahan hidup, kita harus minum dan makan, agar terlindung dari ancaman-ancaman luar, kita harus punya tempat untuk berlindung, dan pakaian untuk menutupi bagian-bagian tubuh yang berpotensi dipenetrasi oleh benda asing, zat-zat berbahaya, dan memunculkan niat-niat orang tertentu untu berbuat perilaku asusila. Jadi tidak bisa kita melawan sepatu yang alami. konsumsi sebagai sebuah kegiatan dasar manusia untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya terutama. Kalau dulu kita kalau mau makan kita harus bercocok tanam terlebih dahulu, Kalau mau punya pakaian kita harus membuat terlebih dahulu, tapi setelah revolusi industri pertama, yang pada akhirnya mendorong produksi massal ternyata menjadi berkah bagi banyak orang. Kalau mau makan, tinggal datang ke pasar, dan beli produk makanan. Mudah, sederhana, dan cepat. Tapi sayangnya kecepatan manusia mengkonsumsi tidak secepat kemampuan mesin-mesin pabrik itu memproduksi. Sehingga kalau manusia mengkonsumsi hanya sesuai kebutuhannya saja, pabrik-pabrik tersebut hanya memproduksi barang-barang yang hanya menjadi sampah di gudang-gudang mereka. Dan jika barang-barang tersebut hanya menjadi sampah yang tidak terkonsumsi, maka biaya yang mereka keluarkan untuk memproduksi barang-barang tersebut tidak menghasilkan keuntungan finansial yang diharapkan. Sehingga Sangat wajar dan alamiah bagi para pemilik modal untuk mendorong konsumen agar membeli barang-barang tersebut di luar kebutuhan dasarnya Guna mendapatkan keuntungan finansial yang diharapkan. Maka terjadilah upaya sistematis agar Konsumen tidak hanya beli 1 tapi beli 2, tidak hanya beli 1 kali dalam 1 bulan, tapi beli dua sampai tiga kali dalam sebulan. Jadi konsumen itu didorong supaya memindahkan barang-barang produksi di pabrik tersebut agar pindah ke rumah-rumah konsumen. karena Jika barang-barang tersebut hanya ada di pabrik saja ya… hanya menjadi sampah. tapi yang Konsumen tidak sadar ketika mereka membeli barang lebih dari kebutuhannya, dan akhirnya barang-barang tersebut tidak dikonsumsi, maka sampah-sampah barang berlebih ini malah jadi sampah dirumah. Coba sekarang cek barang-barang kita yang ada di rumah. apakah masih ada Produk-produk yang kita beli dua sampai tiga bulan lalu dan masih belum dikonsumsi? Apakah masih ada produk-produk Yang expired date nya sudah mau habis tapi masih utuh dan belum tersentuh? Yang mungkin itu pertanda bahwa sesungguhnya kita menjadi korban stimulasi stimulasi yang menganjurkan kita untuk membeli lebih banyak dan membeli lebih sering. Tidak hanya itu, belum lagi ketika kita membeli pakaian bukan karena pakaiannya itu sendiri, tapi karena nilai-nilai yang diasosiasikan dengan brand pakaian tersebut. Dengan berbagai mekanisme pengadaan uang, mau kredit, mau pakai pinjol, mau pakai paylater, mau pinjem tetangga atau keluarga, yang penting kebeli itu baju, tas, mobil, healing-healing, biar bisa fliexing-flexing. Jadi narasi-narasi yang beredar di masyarakat melalui iklan, konten media sosial, bagi kapitalis itu hanya a means to an end untuk menciptakan demand yang akhirnya menguntungkan buat mereka.





Jadi memang salah satu yang ingin di di capai oleh para pemilik modal adalah memastikan agar bagaimana konsumen ini mengkonsumsi barang-barang secara konsisten dan lebih dari yang dibutuhkan. Sehingga yang dilakukan oleh kapitalis adalah memberikan masyarakat sebuah sense of purpose, sebuah tujuan mulia yang harus dikejar, sebuah mimpi indah yang harus digapai. Karena ketika tujuan tersebut mulia, dan terasa sejalan dengan ajaran agama nilai-nilai budaya setempat, maka konsumen yang polos, suci, bersih ini rela untuk mengejarnya. Misalnya, kita diajarkan oleh siapapun itu untuk menjadi orang yang sukses agar bisa membahagiakan keluarga dan membuat orang tua bangga. Orang yang sukses bisa memberikan kehidupan dengan standard kelayakan tertentu pada keluarga, dan orang tua akan bangga jika seorang anak bisa memberangkatkan keluarganya pergi haji. Sebuah tujuan hidup yang mulia dan indah. Sehingga untuk mencapai tujuan tersebut, maka seseorang harus bekerja keras mengejar standard kebahagiaan yang diajarkan. Dan sayang sekali standard itu seringkali dibuat oleh pemilik modal. Jadilah seorang laki-laki itu bekerja untuk memenuhi tuntutan istri yang senantiasa menuntut standard kehidupan tertentu, dan jadilah seorang istri mengabaikan perannya sebagai ibu rumah tangga agar bisa dipandang kawan-kawannya telah mencapai standard kehidupan tertentu, dan seterusnya. Pada akhirnya untuk mencapai tujuan mulia tersebut, satu-satunya cara adalah bekerja keras, bisa dari pagi hingga pagi lagi untuk mencari uang dan mengkonsumsi barang yang dianggap sejalan dengan tujuan mulia tadi. Termasuk juga dengan persoalan naik haji ataupun pendidikan yang mana sekarang itu naik haji dan pendidikan sekarang ini sangat komersial. Tidak punya uang, tidak bisa segera naik haji, mungkin harus menunggu 30 tahunan lebih untuk berangkat haji. Begitu juga pendidikan. Pendidikan tidak mahal, maka pendidikannya tidak berkualitas persepsinya. Kebutuhan guru-gurunya semakin tinggi, SPP sekolah juga makin mahal. Demi pendidikan anak, keluarganya bekerja keras pagi siang malam, mendapatkan uang yang banyak agar bisa memastikan pendidikan anak berkualitas. Jadi sekarang itu tujuan-tujuan mulia itu seolah cara satu-satunya untuk mencapainya adalah dengan mengkonsumsi. Jika tidak mengkonsumsi maka kamu mati, kamu tergolong orang-orang yang kurang beruntung, kamu termasuk orang-orang yang tidak diridhoi Tuhan sehingga kamu tidak mampu membeli barang-barang yang kayak, dam seterusnya. Tapi disitulah hebatnya kapitalisme dan konsumerisme. Ideologi tersebut memberikan manusia yang tersesat di bumi menjadi punya tujuan hidup dan terus berusaha melakukan segala sesuatu di muka bumi ini dengan lebih baik. Meskipun kita tidak tahu, apakah tujuan tersebut adalah tujuan hidup yang hakiki atau bukan. Kalau dalam agama saya, Islam, tujuan duniawi itu semuanya hanyalah ilusi yang dibuat oleh manusia, beserta mitra-mitranya, bisa jadi mitra tersebut manusia ataupun mahluk gaib, yang berupaya membuat kita lalai dari tujuan kita yang sesungguhnya, yaitu kehidupan setelah kematian.


Ketika Covid kemarin, banyak orang sadar. Bahwa yang kita butuhkan adalah makanan dan tempat berlindung. Uang banyakpun tidak bisa mendapatkan fasilitas kesehatan terbaik. Yang lucu adalah agen-agen asuransi yang ketika Covid menjual asuransi, karena saat ini sedang Covid, maka semua orang harus punya asuransi. Supaya selamat dari risiko Covid, maka harus beli asuransi. Orang lagi krisis disuruh beli asuransi. Asuransi nya ada, fasilitas kesehatannya gak ada. Jualan asuransi jiwa misalnya, ayo lagi Covid nih, kita gak tau umur kita kapan berakhir. Jangan sampai anak cucu kita tidak mendapatkan warisan apa-apa dari kita kalau kita mati. Rupanya agen-agen ini menjual dengan menakut-nakuti, dan mengingatkan tujuan mulia manusia supaya memberikan masa depan yang terjamin oleh uang proteksi. Ya begitulah memang manusia yang sudah berhasil ditanamkan bahwa satu-satunya cara untuk hidup nikmat adalah mengkonsumsi. Ya akhirnya kita harus terus mengkonsumsi dan memberikan keuntungan pada pemilik modal. Ya memang begitu adanya.


Sudah panjang lebar, jadi jawabannya bagaimana kita bisa tidak menjadi manusia yang konsumtif? Ya lagi-lagi kembali kepada diri kita masing-masing bisa tidak melawan narasi yang menstimuli hasrat kita untuk mengkonsumsi sesuatu secara berlebih ataupun mengkonsumsi sesuatu yang diluar kemampuan kita secara ekonomi. Sesedehana misalnya, untuk hidup sehat, maka kita harus mengkonsumsi vitamin, mengkonsumsi produk-produk yang memiliki kandungan yang aman dan bernutrisi. Kalau bisa mengkonsumsi vitamin-vitamin dan produk-produk impor, karena yang di Indonesia kualitasnya kurang bagus… begitu kan narasinya? Sekarang kembali pertanyakan narasi tersebut, apa iya untuk hidup sehat saya harus membeli produk-produk mahal tersebut? Apa sebenarnya saya pergi ke pasar, kemudian saya mengkonsumsi sayur-sayuran, daging-daging dari pedagang pasar yang harganya lebih murah bisa membuat saya lebih sehat. Atau contoh lainnya, untuk hidup sehat, apakah saya harus jadi member di sebuah gym yang banyak selebritis tergabung di dalamnya? Atau sebenarnya jika saya meluangkan waktu di pagi hari sekitar 10 - 30 menit berjalan kaki sudah bisa membuat hidup saya lebih sehat? Contoh lainnya, untuk hidup sehat, apakah saya harus berolahraga dengan menggunakan pakai branded yang katanya mampu menyerap keringat dengan lebih baik, sirkulasi udaranya lebih baik, dan terkenal karena di pakai seorang celebrity untuk berolah raga? Atau cukup dengan pakaian yang nyaman yang saya beli di gede bage tapi masih keliatan fashionable? Jadi secara tidak langsung dengan melihat kembali konstruksi narasi dan secara kritis menelaah narasi tersebut, maka sesungguhnya kita sedang berupaya mendekonstruksi pesan-pesan yang berideologi kapitalis dan konsumerisme. Selamat mencoba.

Komentar

Postingan Populer