Kampanye Visual Yang Kontroversial dan Bagaimana Konsumen Meresponnya


Selama saya berkarir di dunia Periklanan, tidak pernah ada Brand yang berniat untuk membuat kampanye merek atau produk yang bisa menjadi "masalah" di masyarakat. Tapi kalau niat untuk membuat iklan yang punya "Stopping Power", yang bisa menjadi "Talk of the Town", yang bisa "Grabbing Attention", dan seterusnya, itu hampir semua brand seperti itu. Namun pada artikel ini, saya ingin membahas mengenai kampanye-kampanye visual yang "berhasil" menjadi "Talk of the Town" karena kontroversi yang ditimbulkannya. Di artikel ini saya juga akan memberikan beberapa contoh kampanye visual yang kontroversial, dan sedikit mengulas bagaimana biasanya masyarakat merespon sebuah kampanye yang secara visual dinilai bertentangan dengan nilai-nilai atau standar moral yang berlaku di masyarakat.

Seperti Apa Contoh-contoh Kampanye Visual yang Kontroversial?

Dalam sebuah kampanye, penggunaan materi-materi visual sudah menjadi praktek yang umum. Visual itu bentuknya bisa menggunakan ikon, menggunakan, simbol, ataupun tanda-tanda lainnya yang menyampaikan makna tertentu kepada khalayak sasaran. Namun, dalam beberapa kasus visualisasi yang digunakan dalam sebuah kampanye menimbulkan kontroversi. Kampanye visual dikatakan kontroversial jika visualisasi yang digunakan menimbulkan reaksi negatif, penolakan, atau protes dari masyarakat. Kontroversi bisa terjadi jika pesan, baik itu yang tersirat maupun tersurat menyamaikan sesuatu yang melanggar norma, etika, agama, hukum, atau kepentingan masyarakat. Berikut ini adalah beberapa contoh kampanye visual yang kontroversial:

#OneLove LGBTQ+ Rights Campaign at the FIFA World Cup 2022, Qatar 



Kampanye Pride kelompok LGBTQ+ yang menggunakan Pelangi sebagai simbol visual untuk menyuarakan eksistensi, keberagaman, inklusivitas, dan kebanggan. Sebagai sebuah gerakan, kampanye Pride ini menimbulkan kontroversi karena secara fundamental mempromosikan perilaku bertentangan dengan nilai-nilai tradisional yang berlaku di berbagai negara. Di Boston, Massachusetts (2019) dan Polandia (2021) adalah contoh beberapa insiden penolakan yang ditimbulkan dan diekspresikan dengan cara membakar bendera simbol pergerakan Pride. Gerakan komunitas LGBTQ+ ini juga sempat membuat masalah di perhelatan Piala Dunia 2022 di Qatar yang berupaya untuk menyusupkan simbol pergerakan ke sebuah platform yang mendapatkan perhatian dunia pada saat itu.

“I’d Rather Go Naked Than Wear Fur” by PETA


Kampanye PETA (People for the Ethical Treatment of Animals) yang menggunakan ikon visual berupa foto-foto selebriti telanjang dengan slogan “I’d Rather Go Naked Than Wear Fur” (Saya Lebih Suka Telanjang Daripada Memakai Bulu). Kampanye ini bertujuan untuk mengkritik industri bulu hewan dan mengajak masyarakat untuk tidak memakai produk bulu hewan. Namun, kampanye ini menuai kritik karena dianggap mengeksploitasi tubuh wanita, menyebarluaskan pornografi, dan mengabaikan hak-hak hewan lain1.

Believe in Something. Even If It Means Sacrificing Everything by Nike



Kampanye Nike yang menggunakan ikon visual berupa foto Colin Kaepernick dengan slogan “Believe in something. Even if it means sacrificing everything” (Percayalah pada sesuatu. Meskipun itu berarti mengorbankan segalanya). Kampanye ini bertujuan untuk mendukung gerakan protes rasisme dan kekerasan polisi di Amerika Serikat yang dilakukan oleh Colin Kaepernick dan atlet-atlet lain dengan cara berlutut saat lagu kebangsaan diputar. Namun, kampanye ini menuai kontroversi karena dianggap tidak menghormati bendera dan militer Amerika Serikat2.

The Kissing World Leaders by Benetton Group


Kampanye Benetton Group yang menggunakan ikon visual berupa foto-foto pemimpin dunia yang bermusuhan sedang berciuman. Kampanye ini bertujuan untuk menyampaikan pesan perdamaian dan toleransi antara negara-negara yang berkonflik. Namun, kampanye ini menuai protes karena dianggap tidak sensitif, tidak sopan, dan tidak sesuai dengan budaya dan agama masing-masing negara3.

Bagaimana Biasanya Masyarakat Merespon Kampanye-Kampanye Visual Yang Kontroversial?

Respon masyarakat terhadap kampanye visual yang kontroversial bisa bermacam-macam. Beberapa respon pasar dan/atau masyarakat terhadap merek-merek yang dinilai tidak sensitif terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat kurang lebih sebagai berikut:


Singkat kata, penggunaan visualisasi dari sebuah kampanye merek memerlukan pengiklan dan pembuat iklan agar lebih sensitif terhadap norma, etika, agama, hukum, atau kepentingan masyarakat. Perlu dipahami bersama bahwa sesuatu yang bertentangan dengan aspek-aspek di atas bisa menimbulkan reaksi yang negatif, penolakan, atau protes dari masyarakat karena melanggar norma, etika, agama, hukum, atau kepentingan masyarakat. Mendapatkan perhatian dari konsumen tentu tidak sama dengan menciptakan kontroversial. Sebagai pemasar, tentu dorongan untuk menciptakan sesuatu yang "berbeda" dan menjadi "talk of the town" adalah dorongan yang umum di bidangnya. Tapi perlu kembali disepakati bahwa tujuan dari pemasaran itu sendiri adalah agar bisa "diterima" dan "dibeli" oleh konsumen, bukannya menciptakan kontroversi di tengah-tengah pasar yang bising.

Komentar

Postingan Populer