Pelangi sebagai Simbol dan Strategi Normalisasi Komunitas LGBTQ+ Yang Dimulai Sejak Usia Dini


Saya yakin mayoritas kita semua, manusia di seluruh dunia, menaruh perhatian yang mendalam pada salah fenomena ini. Kali ini saya ingin bicara mengenai topik yang cukup kontroversial, yaitu penggunaan pelangi sebagai simbol dan strategi komunitas LGBTQ+. Sedikit saya akan mengulas Bagaimana sejarah dan arti pelangi bagi mereka? Bagaimana mereka menggunakan pelangi sebagai alat kampanye dan normalisasi? Dan mengapa gerakan ini menyasar kepada anak-anak sebagai target jangka panjang?

LGBTQ+ adalah singkatan dari Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer, dan lain-lain. Akronim ini menjadi istilah umum untuk menyebut orang-orang yang memiliki orientasi seksual atau identitas gender yang tidak terikat dengan realitas biologis dan norma-norma sosial yang berlaku di berbagai wilayah geografis di dunia. Diberbagai forum publik, orang-orang LGBTQ+ selalu mengekspresikan bahwa kelompoknya sering mengalami diskriminasi, stigma, kekerasan, atau penolakan dari masyarakat karena dianggap menyimpang, berdosa, atau tidak wajar. Diberbagai kesempatan, mereka juga dikatakan sering menghadapi tantangan dalam hal kesehatan, hukum, pendidikan, pekerjaan, keluarga, atau agama. Hal-hal ini yang mendasari pergerakan mereka guna menarik simpati dan dukungan, perlindungan, dan pengakuan atas hak-hak mereka sebagai manusia.

Bagaimana Sejarah dan Arti Pelangi bagi Komunitas LGBTQ+?

Pelangi sebagai sebuah fenomena alam terjadi ketika cahaya matahari dipantulkan dan dibiaskan oleh tetesan air di udara. Pelangi memiliki tujuh warna: merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, dan ungu. Dalam berbagai budaya dan agama, Pelangi juga memiliki makna simbolis. Misalnya, dalam agama Kristen, pelangi adalah tanda perjanjian Allah dengan Nuh setelah banjir besar1. Dalam agama Hindu, pelangi adalah busur panah Dewa Indra2. Dalam mitologi Yunani, pelangi adalah jembatan antara dunia manusia dan dunia dewa yang dibuat oleh Dewi Iris3.

Tidak banyak yang tahu, Pelangi sesungguhnya telah menjadi simbol bagi komunitas LGBTQ+ sejak tahun 1978. Saat itu, seorang seniman dan aktivis gay Amerika Serikat bernama Gilbert Baker menciptakan bendera pelangi sebagai lambang kebanggaan dan gerakan sosial LGBTQ+. Ia terinspirasi oleh perayaan dua abad kemerdekaan Amerika Serikat pada tahun 1976 yang memamerkan bendera bintang dan garis4. Ia juga mendapat dorongan dari Harvey Milk, seorang politisi gay pertama yang terpilih di California5. Sederhananya, dengan adanya Media Digital dan Media Sosial, visibilitas kelompok ini beserta simbol pelanginya semakin tinggi. 

Bendera pelangi pertama kali dipamerkan pada Parade Hari Kebebasan Gay San Francisco pada 25 Juni 19786. Bendera itu awalnya memiliki delapan warna dengan makna sebagai berikut7: Merah (Kehidupan), Jingga (Penyembuhan), Kuning (Sinar Matahari), Hijau (Alam), turquoise (keajaiban), Biru (Harmoni), Ungu (Semangat), Merah Muda (Seksualitas), dan Cokelat (Keanekaragaman). Konon katanya bendera pelangi komunitas ini terus mengalami perubahan dikarenakan semakin banyaknya kelompok yang merasa belum terwakili seperti subkelompok LGBTQ+ tertentu, seperti biseksual, transgender, interseks, non-biner, dan lain-lain9Namun, karena keterbatasan produksi kain berwarna merah muda dan cokelat pada saat itu, bendera itu kemudian disederhanakan menjadi enam warna8. Singkat kata, Bendera pelangi dipopulerkan di seluruh dunia agar menjadi sebagai simbol keberagaman, solidaritas, dan hak-hak LGBTQ+. 

Bagaimana Komunitas LGBTQ+ Menggunakan Pelangi sebagai Alat Kampanye dan Normalisasi?


Komunitas LGBTQ+ menggunakan pelangi sebagai alat kampanye untuk menyuarakan aspirasi, menyebarkan informasi, membangun jaringan, mengubah opini publik, hingga akhirnya dapay menormalisasikan eksistensi mereka. Normalisasi tersebut dicapai dengan melakukan beberapa aktivitas sebagai berikut:
  • Meningkatkan visibilitas simbol pergerakan dengan Mengibarkan bendera pelangi di tempat-tempat umum, seperti gedung pemerintahan, kantor perusahaan, sekolah, rumah ibadah, atau rumah pribadi. Hal ini bertujuan untuk memperlihatkan luasnya dukungan, solidaritas, atau identitas terhadap komunitas LGBTQ+10 .
  • Menggelar acara-acara bertemakan pelangi, seperti parade, festival, konser, pameran, diskusi, atau demonstrasi. Pergelaran seperti ini bertujuan sebagai pertunjukkan selebrasi atas keberagaman, mengedukasi masyarakat, atau menuntut hak-hak kelompok LGBTQ+. Acara-acara ini biasanya diselenggarakan pada bulan Juni yang dikenal sebagai Bulan Kebanggaan (Pride) LGBTQ+11.
  • Mendorong anggota komunitas dan simpatisan untuk mengekspresikan dukungannya kepada komunitas LGBTQ+ dengan cara menggunakan aksesori atau pakaian berwarna pelangi, seperti pin, gelang, kaos, topi, masker, atau tas. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan visibilitas simbol, mengekspresikan diri, memperluas jaringan dengan sesama LGBTQ+, atau menarik perhatian orang lain.
  • Membuat konten-konten berwarna pelangi di media sosial, seperti foto, video, meme, filter, stiker, atau hashtag. Hal ini bertujuan untuk berbagi pengalaman, menyampaikan pesan, menghibur diri atau orang lain, atau mempromosikan gerakan LGBTQ+.
Secara sederhana,  secara strategis normalisasi eksistensi kelompok ini dimulai dengan meningkatkan visibilitas simbol pergerakan ini ke publik. Dalam beberapa tahun terakhir vibilitas kelompok ini semakin meluas ke berbagai platform. Tidak hanya simbol pelanginya, tapi juga secara substansi merasuk ke berbagai platform. Tidak hanya ke orang dewasa, strategi untuk meningkatkan visibilitas ini, dan juga strategi lainnya untuk mengkonversi manusia menjadi anggota komunitas tersebut, juga menyasar kepada anak-anak.

Mengapa Komunitas LGBTQ+ Menyasar Kepada Anak-anak sebagai Target Jangka Panjang?


Jika anda menemani anak-anak anda menonton tayangan di platform-platform OTT atau platform digital lainnya, visibilitas simbol pelangi dan ideologi LGBTQ+ ini sudah mulai merasuk ke dalam. Bahkan di negara-negara barat, anak-anak di dorong untuk sedari kecil untuk melepaskan realitas biologisnya. Taktik seperti ini tentu membuat kita sadar bahwa Anak-anak telah menjadi sasaran kelompok ini. Bukan sasaran jangka pendek, tapi khalayak sasaran jangka panjang karena mereka percaya bahwa anak-anak adalah generasi masa depan yang dapat membawa perubahan positif bagi komunitas LGBTQ+. Berikut ini adalah beberapa alasan kenapa gerakan ini menyasar kepada anak-anak guna mencapai tujuan jangka panjangnya.
  • Anak-anak cenderung lebih terbuka dan toleran terhadap keberagaman seksual dan gender daripada orang dewasa. Mereka lebih mudah menerima dan menghormati orang-orang LGBTQ+ tanpa prasangka atau diskriminasi. Sehingga penanaman ideologi LGBTQ+ kepada anak-anak cenderung tidak akan menghadapi resistensi. Peran orang tua dalam membina anak-anak agar mendapatkan pemahaman yang komprehensif sangat diperlukan.
  • Anak-anak lebih mudah dipengaruhi dan dibentuk oleh lingkungan sekitar mereka. Mereka lebih mudah belajar dan meniru perilaku atau nilai-nilai yang ditampilkan oleh orang-orang LGBTQ+, terutama jika mereka adalah orang tua, guru, teman, atau idola mereka. Di 7 negara bagian di Amerika Serikat mengharuskan LGBTQ+ sebagai bagian dari kurikulum Sex Education Standard. komunitas ini diberikan ruang di ruang-ruang kelas untuk berbagi cerita kepada anak-anak agar bisa menanamkan inklusivitas pada komunitas ini.
  • Anak-anak lebih rentan terhadap paparan media sosial yang sarat dengan konten-konten LGBTQ+. Mereka lebih mudah terpikat dan terlibat dengan konten-konten tersebut tanpa kesadaran untuk mencerna dan mengolah informasi yang diterimanya. Hal ini tentu akan berdampak bagi perkembangan seksual dan gender mereka.

Singkat kata, dapat disimpulkan bahwa pelangi adalah simbol dan strategi komunitas LGBTQ+ untuk mengkampanyekan dan menormalisasi eksistensi mereka di dunia. Normalisasi eksistensi ini diawali dengan membiasakan publik terekspos dengan visibilitas simbol pelangi yang mengandung makna subjektif komunitas tersebut, hingga meningkatkan engagement dengan khalayak banyak dan dimulai sejak usia dini. Dalam jangka panjang dan jika dilaksanakan secara konsisten, normalisasi perilaku LGBTQ+ akan menjadi keseharian yang normal.

Komentar

Postingan Populer