Catatan Kegagalan-Kegagalan 1sr43l Pada Operasi Genosida di Gaza

Tulisan ini bukan propaganda untuk menyampaikan seolah Palestina telah memenangkan perang di Gaza. Sampai hari ini ketika tulisan ini di publikasikan, kantor berita yang pro-kemanusiaan masih memberitakan pengeboman yang terus-menerus dilakukan Zionis kepada warga sipil Gaza. Warga Dunia disajikan pertunjukkan genosida secara terang-terangan tanpa bisa melakukan perlawan fisik yang nyata. Apalagi Gaza, yang jelas tidak berdaya harus mengorbankan nyawa untuk membela haknya.

Sudah lebih dari 33 hari warga Gaza di bantai oleh Israel, dan selama itu juga dunia bersedih melihat apa yang terjadi di sana.

Genosida yang tengah terjadi ini memang sebuah peristiwa dengan latar belakang yang sangat kompleks. Saking kompleknya, semua orang seperti mempunyai argumen masing-masing yang kuat, yang mana akhirnya selalu berakhir dengan perdebatan yang sia-sia dan tidak punya harapan antara mereka yang pro ini dan pro itu.

Allah dan Rasul sudah mengingatkan kita semua agar tidak berdebat (Al-'Ankabut : 46, Riwayat Bukhari No 2457, Muslim No 2668), apalagi perdebatan tersebut hanya akan berakhir dengan perselisihan dan permusuhan. Dalam situasi ini, akan lebih baik jika semua orang harus bisa mencari sesuatu yang bisa disepakati bersama demi perdamaian.

Tentu saja, kita harus bersedih dengan apa yang terjadi pada saudara-saudara kita di Palestina. Tapi kita juga harus bersyukur atas respon masyarakat dunia yang mengecam agresi ini. Karena melalui agresi ini, kita semua diperlihatkan bahwa masyarakat dunia bisa bersatu dan memiliki kesamaan atas dasar kemanusiaan. Dan disini jugalah poin-poin kegagalan-kegagalan Israel muncul, yang mana harus jadikan catatan agar ke depannya kita tidak lagi lengah dan terhanyut oleh fitnah zionis. Dan semoga kita ke depan juga mempersiapkan diri dan bersatu jika pada waktunya pimpinan Zionis beserta bala tentaranya menghampiri belahan bumi lainnya. 

Beberapa catatan ini saya tuliskan karena menurut pandangan pribadi poin-poin dibawah ini adalah upaya yang saya kira dilakukan oleh Zionis dan kelompoknya untuk mengeksekusi operasi genosida yang sempurna, namun tidak semuanya berhasil dijalankan dengan sempurna. Tentu ini semua atas pertolongan Yang Maha Kuasa, kegagalan-kegagalan ini menjadi terbuka dan bisa menjadi pelajaran buat kita semua.

Israel Gagal Mempertahankan Relevansi Label Anti-Semitisme Dalam Perjuangannya

Sebelum genosida di Gaza terjadi, siapapun yang menentang pendirian negara Israel (ataupun yang mengekspresikan kebencian pada kaum/ agama Yahudi) akan dicap anti-semitisme. Akibat peristiwa brutal ini, dengan akses informasi yang luas, dunia akhirnya berupaya membaca dan berupaya mengembalikan makna anti-semitisme yang sebenarnya dengan memisahkan asosiasi antara anti-semitisme dan anti-zionisme yang selama ini dibangun oleh organisasi zionis (beserta umatnya) yang ingin mendirikan negara Israel di Palestina.



Antisemitisme dan anti-zionisme adalah dua konsep yang sering kali disalahartikan sebagai satu sama lain. Antisemitisme adalah sikap prasangka atau permusuhan terhadap orang Yahudi dan telah ada selama berabad-abad. Sementara Anti-Zionisme secara umum dapat didefinisikan sebagai perlawanan terhadap keberadaan negara Israel. Anti-Zionisme dapat dipandang sebagai kritik terhadap kebijakan tertentu dari Pemerintah Israel, khususnya kebijakan pendudukan terhadap Palestina. Dalam konteks konflik Israel-Palestina, perbedaan antara antisemitisme dan anti-Zionisme menjadi semakin penting untuk dipahami. Karena itu, penting untuk membedakan antara kedua konsep ini agar tidak terjadi kekeliruan.



Dengan pemurnian makna ini, yang bisa kita lakukan ke depan adalah mulai mempopulerkan pemisahan makna antara Anti-Semitisme dan Anti-Zionisme, dengan cara terus-menerus diucapkan. Kenapa perbedaan ini perlu dipopulerkan? Yang pasti agar semua kekeliruan ini menjadi terang-benderang. Dan yang paling fundamental adalah kita harus mulai menghentikan menyamakan Yahudi dengan Zionis. Mengapa? Karena menyamakan dua agama yang berbeda dengan kitab yang berbeda itu adalah sesuatu yang tidak benar dan tidak produktif. 

Yahudi itu kitabnya Taurat, Nabinya Musa As, Tuhannya Allah SWT. Sedangakan 'agama' Zionis itu kitabnya Judenstaat, Nabinya Theodor Herzl, Tuhannya? Yang Pasti bukan Allah SWT.

Israel Gagal membatasi Warga Dunia Untuk Mengakses Informasi dan Bersuara

Paska meledakannya “Perang” di Gaza ini, banyak orang mulai belajar kembali sejarah konflik Palestina-Israel. Syukur saat ini semua sejarah tersebut terdokumentasikan, bisa diakses, dan dipelajari oleh semua orang. Sehingga banyak orang yang akhirnya mengubah konsepsinya dan menyuarakan kegelisahannya pada penjajahan Israel terhadap Palestina yang selama ini dilakukan atas nama kaum 'Yahudi'.
​​


Pada 28 Oktober 2023, di kota New York, Amerika Serikat, tepatnya di Grand Central Station, sekelompok masyarakat yang menamakan diri mereka Jewish Voice for Peace melakukan protes damai dengan tema ‘Not in Our Name’ dan mendesak agar Israel segera melakukan gencatan senjata. 

Demonstrasi ini diadakan sebagai bentuk protes pada kebijakan Israel terhadap Palestina. Para peserta demonstrasi memegang spanduk dan poster yang mengecam kebijakan Israel dan mendukung hak-hak Palestina. Beberapa peserta juga membawa bendera Palestina dan menyerukan dukungan internasional untuk Palestina. Demonstrasi ini dihadiri oleh berbagai kelompok aktivis, termasuk kelompok Yahudi yang menentang kebijakan Israel terhadap Palestina. Demonstrasi ini menunjukkan bahwa ada banyak orang yang menentang kebijakan Israel terhadap Palestina dan mendukung hak-hak Palestina.



Sejalan dengan kegagalan yang sebelumnya, protes ‘Not in Our Name’ dari Jewish Voice for Peace adalah alasan mengapa ke depan kita sebaiknya tidak menyamakan Yahudi dengan Zionis. 

Israel Gagal Membangun Positioning Sebagai ‘Victim’ Dalam Genosida Gaza

Kita semua bisa menyepakati bahwa peristiwa perlawanan Hamas pada 7 Oktober 2023 atas penjajahan Zionis selama 75 tahun adalah pemicu terjadinya Genosida di Gaza. Zionis dengan segenap kekuatan medianya membingkai perlawanan tersebut sebagai ‘penyerangan’, dan pemerintahan Zionis yang dipimpin oleh Benjamin Netanyahu menggunakan peristiwa perlawanan tersebut sebagai justifikasi untuk melakukan pembantaian massal. Dan sepertinya pembantaian massal ini memang dicita-citakan agar terjadi secara sekejap, efektif, efisien... Gaza rata tanah.



Saking nafsunya Zionis ingin segera menguasai wilayah Gaza, segala opsi penyerangan ataupun pertahanan dikerahkan oleh Zionis. Namun sayangnya, nafsu yang membabi-buta itu pada akhirnya mengalahkan narasi Zionis sebagai ‘victim’ dalam peristiwa ini. Kenapa? Ya, karena normalnya dimana-mana ‘victim’ itu tidak berada dalam posisi bisa berdansa di atas orang yang mendzaliminya. Sementara dunia dengan jelas melihat tentara-tentara IDF berdansa dan berpesta seraya merayakan “kemenangan”nya atas Gaza. Sementara warga Palestina, termasuk anak-anak dan perempuan, mati bergelimpangan.


Israel Gagal Mentertibkan Warganya dan Menutupi Skandal Penguasanya

Peristiwa pembataian massal di Gaza ini juga membuka koreng rezim pemerintah zionis yang berkuasa saat ini. Bersaman dengan pemberitaan mengenai genosida yang tengah terjadi, muncul juga berita mengenai demonstrasi yang dilakukan warga Israel di depan rumah PM Netanyahu yang menuntut dirinya untuk turun dari jabatan dikarenakan kegagalannya menjaga keamaan warga Israel, dan juga karena perang melawan Hamas yang tak kunjung selesai.


Dari demonstrasi ini juga banyak orang belajar bahwa Netanyahu sendiri adalah sosok kontroversial yang tidak mendapatkan dukungan dari warganya. Dirinya (beserta keluarganya) memiliki sejumlah skandal yang tidak terusut tuntas. Bahkan dirinya berupaya meminta kepada Parlemen untuk memberikannya kekebalan hukum agar terhindar dari tuntutan skandal-skandalnya. Sejumlah ahli pun mengatakan paska perang antara Hamas dan Zionis ini selesai, PM Netanyahu harus diganti oleh orang yang lain karena dirinya dinilai tidak akan mampu membawa kedamaian di wilayah tersebut. Sehingga pada pemilu di Israel yang akan berlangsung Maret 2024 nanti, kegagalan Netanyahu tersebut akan menjadi tema central sangat menentukan bagi kawasan tersebut. Tapi tentu warga Yahudi di sana harus juga mengantisipasi manuver-manuver Netanyahu yang tidak berdasar pada ajaran yang diajarkan pada Moses. Karena dari peristiwa ini juga, semua orang Yahudi akhirnya harus tahu bahwa pemimpin yang mengaku Yahudi ini tidak memahami ajaran Yahudi itu sendiri.

Israel Gagal Mempertahankan Dukungan Penuh Dari Sekutunya

Bukan rahasia lagi jika negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat, adalah sekutu dari negara Zionis. Namun seiring meningkatnya jumlah korban sipil di Gaza, beberapa negara eropa mulai mengevaluasi pandangannya. Salah satunya adalah Immanuel Macron, Prancis, yang menyuarakan gencatan sejata pada genosida di Gaza.



Mantan PM negara Zionis, Ehud Barak, juga mentakan bahwa Israel tengah kehabisan waktu dalam peperangan ini. Dirinya menyatakan bahwa kini Israel telah “kehilangan” Eropa, dan dalam waktu dekat Israel bisa mengalami friksi dengan Amerika Serikat akibat perang yang tidak berkesudahan dan korban sipil yang terus meningkat. Dana dan senjata yang diberikan begitu besar untuk Israel, tapi peperangan yang dilakukan tidak kunjung selesai. Selain kehabisan waktu, Israel juga dikatakan kehabisan uang dalam peperangan ini .



Menyikapi situasi ini, strategi dalam negeri yang dilakukan oleh Pemerintah Zionis adalah mengerahkan warganya untuk berdonasi agar Genosida Zionis ini bisa terus berlangsung. Video di atas adalah seorang inluencer sekaligus pengusaha Zionis yang mengajak warga Zionis untuk bekerja dan memberikan "yang terbaik" kepada negara Israel yang saat ini sedang “membutuhkan”.


Israel Gagal Membungkam Media Dunia Untuk Menyuarakan Kebenaran

Bukan lagi sebuah konspirasi jika Zionis menguasai mayoritas media-media mainstream. Media-media yang dikuasai tersebut menyebarkan propaganda agar warga dunia tidak melihat apa yang sesungguhnya terjadi di Gaza, dan juga mengendalikan apa yang seharusnya dipikirkan oleh para penontonnya. Namun sayang sekali media-media yang meliput secara langsung disana, segera menyadari apa yang sebenarnya terjadi dilapangan tidak seperti apa yang dipropagandakan oleh media-media barat mainstream.



Aljazeera dan NHK World adalah contoh dari beberapa media yang meliput langsung di Gaza dan mempublikasi kebenaran yang terjadi di Gaza: Pembantaian Massal Anak-Anak dan Perempuan. Terlepas dari aliansi negara nya dengan Amerika Serikat, NHK World (Jepang) masih bisa menyuarakan kebenaran yang terjadi di Gaza (meskipun menurut sumber terpercaya, wartawan NHK World yang meliput langsung disana sampai minggu lalu masih mendapat intervensi pemberitaan dari media Zionis, Reuters, karena pemberitaannya yang terlalu menguntungkan buat Palestina).


Israel Gagal Menjaga Nama Baik Sponsor-Sponsornya

Kepercayaan diri rezim Zionist saat ini yang berlebihan ternyata menjadi boomerang bagi negaranya beserta sponsor-sponsornya. Dalam beberapa wawancara, Netanyahu menyatakan bahwa “prestasi”nya dalam membantai dan mengusir warga Palestina adalah karena Israel “MEMILIKI” Amerika Serikat. Netanyahu yakin sepenuhnya bahwa Amerika Serikat adalah milik Israel dan akan selalu ada untuk Israel. Sampai-sampai segala tindakannya seolah seperti di atas hukum internasional yang berlaku. Sayangnya, kepercayaan diri Zionis ini tidak berdampak positif bagi sponsor-sponsor lainnya.



Gerakan boikot massal terhadap perusahaan dan produk-produk yang mendukung genosida Zionist di Gaza tengah berlangsung dan mulai membuahkan dampak. Tidak hanya di negara-negara timur tengah, di beberapa negara Asia termasuk di Indonesia juga melakukan boikot sebagai aksi solidaritas terhadap masalah kemanusiaan yang menimpa warga Palestina. Meskipun bisnis dari perusahaan-perusahaan sponsor Zionis ini bisa jadi berbeda kepemilikan dan pengelolaannya dengan pusatnya, namun tidak terhindari dampaknya melebar ke perusahaan-perusahaan lokal yang beroperasi di luar negeri. 

Walau berbagai upaya PR sudah dilakukan guna membangun persepsi yang lebih positif, tetap saja akan sulit untuk menghindari dampak dari dukungan terang-terangan dari brand-brand tersebut terhadap Zionis. Sebut saja seperti McDonalds dan Starbucks di Indonesia (dan di negara-negara lainnya). Mau tidak mau, mereka harus terkena dampak atas dukungan yang dilakukan oleh brand owner dua perusahaan F&B terhadap Zionisme.


Tidak hanya perusahaan-perusahaan sponsor Zionis, organisasi dunia sekelas PBB pun pada akhirnya juga tercoreng namanya akibat standar ganda yang diterapkan dan ketidakseimbangan kekuatan yang dimiliki oleh beberapa anggotanya. 

Sebagai lembaga yang seharusnya bisa menjaga tatatan dunia, PBB malah memperlihatkan wajah aslinya yang ternyata hanya berpihak pada negara-negara tertentu. Dan dalam kasus ini, malah terkesan membiarkan genosida di Gaza terjadi secara berlarut-larut. Relevansi PBB pun pada akhirnya dipertanyakan. Meskipun 120 negara sudah menyatakan dukungan pada genjatan senjata, sepertinya jumlah tersebut juga tidak ada standar aturannya. Israel telah mencoreng dan melecehkan nama Amerika Serikat sebagai negara besar, dan PBB sebagai lembaga dunia.

Singkat kata, poin-poin kekalahan ini menjadi bukti nyata bahwa kita semua, yang mendukung kemanusiaan, secara kolektif bisa berdampak pada sistem yang selama ini dibangun oleh negara-negara beserta oknum-oknum terkait. Dari sini seharusnya banyak orang menyadari bahwa kesatuan masyarakat dunia adalah kekuatan yang besar. Semoga segala upaya kita semua bisa membantu saudara-saudara kita di Palestina terpenuhi hak-haknya sebagai manusia dan sebagai warga dunia.

Komentar

Postingan Populer