Ketika Saya Menggunakan Motor, Pak Ogah Mengabaikan Saya. Ada Yang Tahu Kenapa?


Setiap pagi jam 06.30 WIB saya berangkat mengantar anak-anak ke sekolah menggunakan mobil. Kakaknya masuk sekolah jam 07.00 WIB, dan adiknya masuk jam 07.30 WIB. Alhamdulillah jarak ke sekolah yang sekarang ini bisa di tempuh dalam waktu 20 menit. Sebelumnya tempat si kakak bersekolah mengharusnya kami berangkat 45 menit - 1 jam sebelum jam masuk sekolah.

Setiap hari saya mengantar anak-anak melalui jalan yang sama. Tidak hanya ‘U-Turn’, bottleneck, Polisi Tidur, dan belokan yang sama, saya pun harus melewati ‘pak Ogah’ yang sama setiap harinya. Perjalanan dari rumah saya sampai sekolah anak-anak itu mengharusnya saya berjumpa dengan tiga orang ‘Pak Ogah’, dan pada saat kembali ke rumah, saya harus menjumpai tiga orang ‘pak Ogah’ juga, meskipun jalur yang dilalui tidak sama dengan jalur keberangkatan. Itu juga belum kedapatan ‘Pak Ogah’ dadakan dan Tukang Parkir yang tiba-tiba muncul dari antah-berantah.

Meskipun‘Pak Ogah’ ini statusnya Ilegal, keberadaan mereka sepertinya ada dimana-mana. Rupanya kesemrawutan lalu lintas, khususnya lalu di Ibu Kota, menjadi ladang bagi mereka untuk meraup keuntungan. Dalam sehari mereka bisa mengantongi sekitar Rp150,000,- sampai Rp350,000,-, yang mana jika dikalikan dengan jumlah hari kerja dalam seminggu kurang lebih Rp3,750,000,- hingga Rp8,750,000,-. Fantastis!

Anyway, karena saya melalui jalur yang sama setiap harinya, maka saya sampai hapal juga wajah-wajah “pak Ogah-Pak Ogah” ini. Saya memperhatikan bagaimana mereka memberikan bantuan kepada pengguna jalan. Sepertinya mereka semakin termotivasi jika mobil yang dibantunya semakin mahal. Berbeda sekali semangat mereka ketika “membantu” ‘Pajero Sport’ dan ketika mereka “membantu”-misalnya-mobil-mobil LCGC. Seperti ada ‘Cuan Detector’ nya, mereka langsung tergerak untuk menghentikan mobil dari arah yang berlawan supaya sumber cuan bisa melintasi mereka.

Dalam perspektif bisnis, itu artinya mereka tahu siapa konsumen sasaran mereka. Mereka tahu segmen konsumen mana yang harus mereka “layani”, dan kepada siapa sumber daya tenaganya harus dialokasikan. Tapi sayang sekali, tidak semua konsumen yang mereka temui itu merasakan interaksi ini sebagai sebuah transaksi bisnis. Termasuk saya, yang berpandangan bahwa kehadiran mereka di tengah jalan sebagai sebuah kegiatan sosial, kegiatan filantropis, atau sebagai tindakan mulia untuk menyedekahkan tenaganya agar semua pencari rejeki Tuhan bisa sampai tujuan pada waktunya. Sampai pada akhirnya ucapan terima kasih saya direspon dengan sebuah cemooh atau bahkan “pukulan” ke badan mobil, maka disitulah saya sadar bahwa hubungan kita bertepuk sebelah tangan. Ternyata, we are not on the same page in this “relationship”.

Setahu saya, yang namanya bisnis itu harus ada unsur pemenuhan kebutuhan yang menjadi dasar untuk sebuah pembayaran. Saya akan diharuskan membayarkan sejumlah uang kepada seseorang atas jasa orang tersebut yang memang saya butuhkan. Lalu bagaimana jika saya bisa melakukan manuver Putar Balik atau sekedar belok kanan atau kiri dengan menggunakan tangan saya, kaki saya, lampur sein, dan stir yang bisa saya kendalikan dengan segenap kemampuan saya? Apakah pantas jika “pak Ogah” marah jika saya tidak “membeli” jasanya? Apakah mereka berhak mencemooh orang atau bahkan merusak kendaraan pribadi yang tidak “membeli” jasanya?

Alhamdulillah, saya tidak kedapatan “pak Ogah” yang merusak mobil saya. Sejauh ini dari enam titik yang saya lalui setiap hari, ada dua titik dimana saya mendapati “pak Ogah” menggerutu karena saya tidak “membeli” dagangannya. Mungkin anda mengatakan saya terlalu banyak mikir, tapi hati ini rasanya tidak nyaman ketika harus melihat orang seperti mendoakan celaka kepada saya. Maka untuk menghindari energi negatif para ‘Pak Ogah’ ini, akhirnya saya pun mulai mencari jalan lain yang dimana saya tidak harus melihat kerutan wajah “Pengusaha Jalanan” itu di setiap paginya. Dan syukur, hati ini rasanya lebih lega dan nyaman.

Sampai akhirnya, saya pun membeli motor sebagai alat transportasi sehari-hari. Dan sekarang pun saya mulai menggunakan motor untuk mengantar anak-anak sekolah. Hal yang ajaib pun akhirnya terjadi.

Ketika saya mulai mengantar anak-anak ke sekolah melalui jalan-jalan yang sama setiap paginya ketika saya menggunakan mobil, saya menemukan bahwa ternyata menggunakan motor membuat saya menjadi “tidak nampak” di mata “Pak Ogah”. Motor punya kemampuan untuk melewati “Cuan Detector” nya ‘pak Ogah’ tanpa terdeteksi. Boro-boro dibantu, dilihat saja tidak! Mereka membiarkan saja motor-motor itu lewat. Ya mungkin juga karena jumlah kami (pengendara motor) begitu banyak dan mudah sekali untuk bermanuver menjauhi jerat paksaan “pembayaran jasa” yang tidak dibutuhkan, maka mungkin ‘Pak Ogah-pak Ogah’ ini malas melayani para pengendara motor.

Kok bisa ya? Kenapa ya?

Komentar

Postingan Populer