Tulisan ini saya dedikasikan kepada keluarga dan saudara-saudaraku pada khususnya dan untuk seluruh manusia yang memiliki keluarga pada umumnya. Dari kejadian ini, saya ingin berbagi beberapa renungan yang saya lakukan. Semoga bisa bermanfaat bagi yang membacanya.
Pada Sabtu 27 Desember 2008 telah berpulang ke Rahmatullah Hj.Solha binti H. Bachtiar di usia ke 79. Tiada satupun yang menyangka dan mengetahui secara pasti kapan malaikat maut menjemputnya. Menurut anak lelakinya—beserta istri—yang tinggal satu rumah dan selalu merawatnya, di pagi itu ’Ibu’—begitu ia memanggilnya—tampak sangat menikmati tidurnya sampai-sampai mereka tak kuasa untuk mengganggu tidur dan mengusik buah tidurnya. Tidak seperti biasa memang, pagi itu begitu tenang dan tiada rengek-an Ibu untuk meminta makanan ataupun buang air—karena memang kondisi ’Ibu’ yang telah demikian tidak memungkinkan dirinya untuk melakukan segala sesuatunya sendiri. Penasaran dengan segala keanehan di pagi hari itu, anak lelaki itu kembali memeriksa keadaan Ibunda tercinta. Namun tak disangka, tangan Ibu sudah dingin, kulitnya sudah memucat, dan matanya telah terpejam untuk selamanya.
Sekilas gambaran kejadian di hari meninggalnya nenek—begitu saya memanggilnya. Walaupun saya bukanlah seorang saksi utama atas kejadian tersebut, setidaknya gambaran itulah yang saya peroleh dari Om Dadang (anak lelaki) dan Tante Sari (isteri). Hari itu merupakan hari berduka bagi seluruh keluarga Soemardi Atma Prawira, termasuk Mama saya yang merupakan salah satu anak kandungnya. Masih teringat wajah Mama di pagi itu ketika mengatakan berita duka itu kepada saya yang baru saja pulang ke rumah pukul 06.30.
Sekejap wajahnya menunjukkan kesedihan yang tiada tara namun enggan untuk jatuh luluh lantak ke bumi karena rasa kehilangan yang teramat dalam. Betapa hari itu sangat mengejutkan baginya. Tetapi di lain sisi, keluarga pun juga mengetahui kondisi nenek yang secara fisik sangat meperihatinkan. Dalam hati saya, secara pribadi saya berpendapat bahwa mungkin ini memang sudah saatnya Nenek pergi untuk ketemu Aki. Saya melihat Nenek begitu sakit dan tersiksa dengan segala keadaannya. Ia hanya bisa merebahkan badannya di atas kasur dan tak mampu bergerak tiada berdaya. Ketika anak-anak dan cucu-cucunya datang menjenguk ia hanya bisa tersenyum dan sesekali menyebutkan nama. Dan ketika anak-anaknya datang dengan membawa sejuta masalah, ia hanya bisa meneteskan air mata dan tak berdaya melerai permasalahan yang terjadi di hadapannya. Betapa saya merasakan bahwa hati Nenek terombang-ambing di antara kebahagiaan dan kesedihan.
Pada Sabtu 27 Desember 2008 telah berpulang ke Rahmatullah Hj.Solha binti H. Bachtiar di usia ke 79. Tiada satupun yang menyangka dan mengetahui secara pasti kapan malaikat maut menjemputnya. Menurut anak lelakinya—beserta istri—yang tinggal satu rumah dan selalu merawatnya, di pagi itu ’Ibu’—begitu ia memanggilnya—tampak sangat menikmati tidurnya sampai-sampai mereka tak kuasa untuk mengganggu tidur dan mengusik buah tidurnya. Tidak seperti biasa memang, pagi itu begitu tenang dan tiada rengek-an Ibu untuk meminta makanan ataupun buang air—karena memang kondisi ’Ibu’ yang telah demikian tidak memungkinkan dirinya untuk melakukan segala sesuatunya sendiri. Penasaran dengan segala keanehan di pagi hari itu, anak lelaki itu kembali memeriksa keadaan Ibunda tercinta. Namun tak disangka, tangan Ibu sudah dingin, kulitnya sudah memucat, dan matanya telah terpejam untuk selamanya.
Sekilas gambaran kejadian di hari meninggalnya nenek—begitu saya memanggilnya. Walaupun saya bukanlah seorang saksi utama atas kejadian tersebut, setidaknya gambaran itulah yang saya peroleh dari Om Dadang (anak lelaki) dan Tante Sari (isteri). Hari itu merupakan hari berduka bagi seluruh keluarga Soemardi Atma Prawira, termasuk Mama saya yang merupakan salah satu anak kandungnya. Masih teringat wajah Mama di pagi itu ketika mengatakan berita duka itu kepada saya yang baru saja pulang ke rumah pukul 06.30.
”Chan, Nenek udah gak ada....” , Mama berkata.
Bahagia karena ternyata masih ada orang-orang yang memberikannya perhatiannya, sedih karena seolah merasa gagal dan tak berdaya menengahkan segala problema yang dihadapi keluarganya. Maka saya pun yakin kalau saat ini Nenek telah terlepas dari kesulitannya di dunia. Dan sekarang, tinggal keluarganya yang masih hidup harus bisa membuktikan bahwa kematiannya bukanlah sesuatu yang sia-sia. Tunjukkan padanya bahwa kita adalah anak-anak, cucu-cucu, dan sodara-sodara yang baik, shaleh, dan mengamalkan ilmu yang telah diajarkan. Niscaya, Nenek dan siapapun yang telah mendahului kita diterima disisiNya.
JANGAN MENUNGGU SAMPAI TERLAMBAT
Hari itu saya bertanya pada adik Mama saya, Om Rudi.
Pernahkah kita berbuat salah atau bahkan kurang ajar pada orang tua? Jika Iya, Apakah kita sudah meminta maaf?
Ini salah satu renungan yang paling menampar saya. Saat ini Papa dan Mama alhamdulillah masih bisa mendampingi saya. Begitu juga halnya dengan Oma dan Adik-adik saya yang mesih selalu menemani kehidupan saya. Tak disangka pertanyaan ”sepele” ke Om Rudi seperti itu membuat saya teringat betapa saya ini anak yang kurang berbakti. Langsung saja saya teringat kesalahan-kesalahan saya pada mereka bahkan ketika saya menulis kalimat ini. Begitu menyakitkan melihat keadaan diri saya sendiri yang sudah pasti tak luput dari dosa. Maafkan Ichan ya Ma, Pa, Oma, Rafi, Ghani, dan semuanya....
Saya teringat dulu ketika saya pernah berdebat besar sama Papa—karena terkadang kami tidak bersatu dalam opini, termasuk dalam calon presiden 2009. Pada saat itu saya merasa Papa tidak pernah memahami diri saya. Bahkan suatu hari Mama pun juga berpendapat demikian dan mendukung keadaan saya. Namun di suatu sore Mama menghampiri saya yang sedang tidur. Ia menceritakan hal yang benar-benar membuat hati saya menangis tidak karuan.. Ia mengatakan bahwa Papa kecewa pada saya. Papa menganggap saya anak yang sombong dan takkan berhasil mengarungi samudera kehidupan. Walhasil, tersentaklah perasaan ini tercecer menjadi serpihan. Setelah merenung beberapa saat, saya memutuskan malam harinya untuk berbicara dengannya dan meminta maaf. Yang saya rasakan memang untuk mengucapkan kata maaf itu begitu sulit. Malam itu merupakan malam yang penuh emosi. Saya mengucapkan kata maaf padanya dengan air mata menetes dan bertanya apa yang harus saya lakukan agar mendapatkan ketulusan hatinya untuk memaafkan saya. Selesai dari situ, terus terang saya merasa menjadi lebih baik dan lebih kuat dari sebelumnya. Kalau hati kita sudah kuat dan mampu mengikhlaskan, meminta maaf, ataupun memafkan, InsyaAllah hidup kita akan lebih tentram.
Singkat kata, kita harus berbuat baik pada siapapun apalagi kepada orang tua. Jika memang kita bersalah, maka segeralah minta maaf. Jika seseorang meminta maaf, maka maafkanlah. Sesungguhnya Allah itu maha pemberi maaf dan pemberi ampunan. Allah saja memaafkan, masa kita tidak? Jangan sampai kita meminta ataupun memberi maaf ketika waktu sudah tak jua mengizinkan. Lakukanlah secepatnya! JANGAN MENUNGGU SAMPAI TERLAMBAT!
Akhir Dari Bagian I
JANGAN MENUNGGU SAMPAI TERLAMBAT
Hari itu saya bertanya pada adik Mama saya, Om Rudi.
”Om, siapa anak yang paling nakal sama Nenek dulu?”Tak disangka Om Rudi menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang membuat hati ini jadi tidak enak.
”Om Rudi yang paling nakal”.Sambil menghela nafas panjang Om Rudi menungkapkan salah satu penyesalan dalam hidupnya, yaitu berbuat nakal pada orang tuanya. Di saat realita mengatakan bahwa kini Nenek telah tiada, Om Rudi hanya bisa memendam penyesalannya tersebut dan berusaha membuktikan bahwa tiada sia-sia Nenek telah melahirkannya ke dunia.
Pernahkah kita berbuat salah atau bahkan kurang ajar pada orang tua? Jika Iya, Apakah kita sudah meminta maaf?
Ini salah satu renungan yang paling menampar saya. Saat ini Papa dan Mama alhamdulillah masih bisa mendampingi saya. Begitu juga halnya dengan Oma dan Adik-adik saya yang mesih selalu menemani kehidupan saya. Tak disangka pertanyaan ”sepele” ke Om Rudi seperti itu membuat saya teringat betapa saya ini anak yang kurang berbakti. Langsung saja saya teringat kesalahan-kesalahan saya pada mereka bahkan ketika saya menulis kalimat ini. Begitu menyakitkan melihat keadaan diri saya sendiri yang sudah pasti tak luput dari dosa. Maafkan Ichan ya Ma, Pa, Oma, Rafi, Ghani, dan semuanya....
Saya teringat dulu ketika saya pernah berdebat besar sama Papa—karena terkadang kami tidak bersatu dalam opini, termasuk dalam calon presiden 2009. Pada saat itu saya merasa Papa tidak pernah memahami diri saya. Bahkan suatu hari Mama pun juga berpendapat demikian dan mendukung keadaan saya. Namun di suatu sore Mama menghampiri saya yang sedang tidur. Ia menceritakan hal yang benar-benar membuat hati saya menangis tidak karuan.. Ia mengatakan bahwa Papa kecewa pada saya. Papa menganggap saya anak yang sombong dan takkan berhasil mengarungi samudera kehidupan. Walhasil, tersentaklah perasaan ini tercecer menjadi serpihan. Setelah merenung beberapa saat, saya memutuskan malam harinya untuk berbicara dengannya dan meminta maaf. Yang saya rasakan memang untuk mengucapkan kata maaf itu begitu sulit. Malam itu merupakan malam yang penuh emosi. Saya mengucapkan kata maaf padanya dengan air mata menetes dan bertanya apa yang harus saya lakukan agar mendapatkan ketulusan hatinya untuk memaafkan saya. Selesai dari situ, terus terang saya merasa menjadi lebih baik dan lebih kuat dari sebelumnya. Kalau hati kita sudah kuat dan mampu mengikhlaskan, meminta maaf, ataupun memafkan, InsyaAllah hidup kita akan lebih tentram.
Singkat kata, kita harus berbuat baik pada siapapun apalagi kepada orang tua. Jika memang kita bersalah, maka segeralah minta maaf. Jika seseorang meminta maaf, maka maafkanlah. Sesungguhnya Allah itu maha pemberi maaf dan pemberi ampunan. Allah saja memaafkan, masa kita tidak? Jangan sampai kita meminta ataupun memberi maaf ketika waktu sudah tak jua mengizinkan. Lakukanlah secepatnya! JANGAN MENUNGGU SAMPAI TERLAMBAT!
Akhir Dari Bagian I
Komentar
Posting Komentar