Make America "Appealing" Again?

8 November 2020 mungkin adalah hari yang sangat bersejarah dalam demokrasi Amerika Serikat. Joe Biden dan Kamala Harris diumumkan sebagai pemenang Pilpres AS 2020 mengalahkan incumbent, Donald Trump dan Mike Pence, setelah memenangkan popular votes sebesar hampir 75juta suara, dan 290 suara elektoral. Memang Pilpres AS selalu menjadi perhatian masyarakat dunia, dan 4 hari perhitungan suara kemarin cukup menegangkan. Saya pribadi cukup mengikuti pertumbuhan angka perhitungan terebut. Work From Home saya 4 hari terakhir ditemani dengan suara TV dari CNN dan Fox News (dan ternyata sangat mengganggu kenyamanan istri saya). Secara pribadi saya sangat happy dengan hasil Pilpres AS. Mengapa? Karena hasil perhitungan Pilpres kemarin itu menjadi bukti bahwa at the core, nilai-nilai America, yang saya pahami berdasarkan pemahaman pribadi tentunya, masih teguh untuk tetap menjadikan AS sebagai negara besar yang “menarik” bagi masyarakat dunia.

Awalnya saya bukan orang yang ‘ngefans banget’ sama Amerika Serikat. Negara ini tampak penuh dengan intrik politik, manuver-manuver politis yang menimbulkan teori konspirasi, suka perang, dan juga budaya masyakaratnya yang sangat bebas yang membuat orang setengah konservatif seperti saya ini geleng-geleng kepala. Ketidaksukaan saya pada AS lebih besar lagi ketika mereka mengumumkan War on Terrorism yang memojokkan Islam sebagai culprit dari serangan-serangan teror yang terjadi di dunia dan utamanya adalah pada saat peristiwa 9/11. Pada saat itu argumentasi ‘ilmiah’ Clash of Civilization’ seolah menjadi tema besar yang membayang-bayangi orang di seluruh dunia. Tapi seketika semua itu berubah ketika Barack Obama menjadi presiden ke-44 AS. Kehadirannya sebagai pemimpin AS mengingatkan saya tentang “doktrin” demokrasi  dan kebebasan ala Amerika yang pernah diajarkan ketika saya sekolah.

Saya bukan warga AS, tapi saya sempat dapat edukasi tentang demokrasi di SEKOLAH. Segitu besar hasratnya AS untuk “menularkan” sistem demokrasi dan nilai kebebasan ke seluruh belahan dunia. Bahkan saking berhasratnya, kadang-kadang annoying juga sih kalau dipikir-pikir. Apalagi kalau sudah memaksakan kehendak dan akhirnya memicu konflik bahkan sampai bikin perang di negara berdaulat lainnya. Ya terlepas dari metode yang digunakan untuk menularkan nilai kebangsaannya, tapi itulah AS yang kita kenal: Land for freedom and opportunities. It stands for democracy and individual liberty. Chaos memang, but it works for them. Ketika Barack Obama menjadi presiden AS, setidaknya saya pribadi merasakan bahwa dia berperilaku dan memiliki kararkter yang baik sebagai pemimpin “dunia” yang berusaha menjadi the best version and role model of a democracy and free world leader. Dan menurut saya, cara itulah yang paling baik untuk “menularkan” nilai-nilai berkebangsaan: melalui Soft Power, People Power, atau apapun itu istilahnya. Melalui karakter yang baik dan cara-cara yang baik, bangsa lain akan mengikuti. Then Maybe people might think that the free world is not so bad after all. Tapi, tahun 2016, semua nilai-nilai AS yang ditunjukkan di masa Obama itu berputar 180 derajat.

Bagaimanapun juga tidak bisa disalahkan, tahun 2016 Donald Trump  menang atas nama demokrasi. Donald Trump adalah salah satu manifestasi demokrasi, dimana seseorang bebas mengutarakan apa saja yang ada dipikirannya, tanpa pikir panjang soal konsekuensi sosial. Dan juga dijamin oleh undang-undang. That’s democracy! Trump mengubah citra “presidensial” yang elegan menjadi receh dengan penggunaan kata-kata kasar, hinaan, rasis, dan bahkan mendorong kekerasan di dalam setiap pidatonya. Sebagian masyarakat menyukainya dan merasa terhibur, tapi sebagian lainnya sangat membencinya. Tapi yang jelas, perhitungan kemarin membukti bahwa mayoritas masyarakat AS berpendapat bahwa kebebasan berpendapat saja tidak cukup jika tidak dibarengi dengan karakter yang luhur. Mungkin AS akan “suka” dengan Demokrasi Terpimpin ala Presiden Soekarno, just saying

Judul dari tulisan ini Make America “Appealing” Again. Kenapa appealing? Karena menurut saya Make America Great Again itu tidak cukup. Amerika harus menjadi “menarik” bagi seluruh orang di dunia. AS harus bisa membuat orang tertarik untuk mengejar mimpi di sana. Tertarik memulai hidup baru di sana. Tertarik mengadopsi nilai-nilai kebebasan. Tertarik mengejar karir, pendidikan, kesuksesan, dan lain-lain. Nah, Jika ingin menjadi pemimpin dunia (dan menciptakan new world order, #Eaaa #KonspirasiAlert”), AS harus kembali pada core valuenya, “Liberty for All” dan membuat negara AS kembali “menarik” bagi semua. Kata “All” ini bukan hanya warga AS, tapi juga warga dunia. Menjadi nasionalis itu bagus, tapi terlalu ekstrim tentu tidak jadi “Liberty for All” dong. Susahkan ya? Tapi ya itulah Amerika Serikat, a Chaotic Beauty. hehehe. Dan paling penting, langkah-langkah yang diambil pemerintah AS harus IN LINE dengan nilai tersebut.

Selama 4 tahun mempimpin, terdapat karakter dan langkah-langkah pemerintah yang menjadikan “Brand” United States of America ala Trump ini tidak inline dengan nilai berkebangsaan AS. Sehingga bukannya malah menularkan nilai-nilai kebangsaan dan memberikan dampak dan pengaruh positif ke bangsa yang lainnya, malah menimbulkan permasalahan. Simak poin-poin berikut:

  • Trump Bertindak sebagai pemimpin hanya untuk kelompok tertentu. Trump dalam hal ini hanya mengutamakan Republican-Governed States, dan warga kulit putih. Selama 4 tahun pemerintahan Trump, kekerasan rasial meningkat 55% dan gerakan-gerakan rasial kulit putih semakin berani muncul ke permukaan. Warga AS Imigran dan Muslim kembali menjadi korban dari retorika bebas yang dilancarkan oleh Trump melalui ruang press di Gedung Putih dan juga Twitter.
  • Trump Selalu berbicara soal dirinya, yang mana harusnya sebagai pemimpin AS harus bicara beyond themselves, beyond sectoral interest, beyond nationalism, dan beyond-beyond lainnya. Banyak sekali video-video beredar Trump membanggakan betapa pintarnya dia, betapa kayanya dia, betapa dicintai dirinya oleh perempuan-perempuan, dan lain-lain. Saya sedikit Kasihan sebenarnya… karena mungkin Trump sesungguhnya adalah pribadi yang insecure.
  • Trump tidak membawa AS menjadi model terhadap progress yang harusnya terjadi di dunia. AS harusnya menjadi pemimpin dalam inovasi dan perubahan ke arah yang lebih baik. Di sektor energi, Trump bahkan tidak tertarik berbicara soal renewable dan clean energy. Bahkan katanya Windwhill sangat berbahaya karena bisa membunuh semua burung (doh!). Science tidak dipercaya. Climate Change itu Hoax. Mundur dari Paris Climate Agreement. Sekarang bagaimana bisa mengubah negara lain jika AS tidak memberikan contoh? impossible.
  • Terobsesi dengan China. Saya tidak mengerti kenapa Trump sebagai presiden AS sangat terobsesi dengan China. Menurut saya AS harusnya memiliki idealisme yang jauh lebih besar daripada hanya sekedar sibuk perang dagang dengan China. Inovasi 5G diberi label berbahaya instead of progress. Huawei pun masuk ke daftar hitam. Tiktok juga senasib dan diberi label membahayakan privasi masyarakat AS. Bukannya benar-benar di banned, Tiktok malah dipaksa harus “menjual diri” ke perusahaan AS. Jadi sebenarnya Tiktok itu bahaya atau lo pengen banget Tiktok jadi aset AS? hehehe Kalau saja kerjasama antara China dan AS bisa terjalin dengan baik, maka seluruh dunia pun akan juga baik.
  • Berubah-ubah pendirian, yang mana menunjukkan bahwa seseorang tidak mempunyai prinsip yang kuat. Tapi, apakah benar seorang Trump tidak punya prinsip? tentu saja punya. Yaitu prinsip untung rugi. Kalau bisa untung lebih cepat, lebih baik. Dengan prinsip seperti itu tentu akan sulit memiliki visi jangka panjang melebihi 4 tahun masa jabatan. Makanya cerita Trump dan Xi itu mirip anak SMA baru pacaran. Sebentar-bentar berantem, sebentar-bentar baikan.Kembali ke poin sebelumnya, pemimpin negara besar harus punya visi yang besar yang berdasarkan idealisme.
  • Fokus pada pencitraan yang tidak ada substansinya. Selain gaya bicaranya yang besar, Trump juga suka membesar-besar “prestasi”nya. Menurutnya ekonomi domestik AS di masa jabatannya sangat baik, yang mana oposisi berbicara sebaliknya. Penyelesaian konfik di TimurTengah juga digembor-gemborkan sebagai salah satu kesuksesan, padahal permasalahan utama Timur tengah, yaitu konflik Palestina-Israel, tidak mengalami progress sama sekali. Itu hanya salah satu contoh saja.
  • Kebijakan anti-migran. Padahal sejarah AS adalah sejarah imigran. Sebuah negara yang dibangun oleh imigran tiba-tiba menjadi anti-imigran. Kebijakan ini adalah kebijakan yang paling unamerican (kata orang Amerika). Orang di seluruh dunia ingin ke Amerika mencari kehidupan yang lebih baik, mengejar “American Dreams“, dan oleh Trump semua itu kandas. Amerika kembali menjadi negara “kulit putih”, anti-imigran, dan akibat retorika tidak bertanggungjawabnya, bisa memunculkan “civil war”. 
  • Tidak menghormati demokrasi. Sampai hari ini, pada saat tulisan ini ditulis, Trump tidak ada recana untuk concede, atau mengakui kemenangan dan memberi selamat kepada president-elect. Tidak sama sekali! Malah Trump campaign ini melayangkan gugatan secara hukum kepada proses perhitungan suara yang terjadi di beberapa negara bagian. Bagi warga AS, ini merupakan pelecehan terhadap demokrasi dan bukan Amerika Banget!

Mungkin itu saja poin-poin yang saat ini bisa saya pikirkan terkait karakter dan langkah Trump yang tidak inline dengan nilai berkebangsaan Amerika Serikat. Kalau soal Trump itu pathological liar, itu jelas permasalah pribadinya dan permasalahan psikologis yang harus dibawa ke psikiater. Mungkin ke depannya Pilpres itu harus ada sesi tes psikologi menyeluruh supaya seorang yang punya masalah kejiwaan tidak maju dalam pemilihan. Harapan saya Joe Biden dan Kamala Harris bisa kembali menjadikan Amerika Serikat sebagai contoh demokrasi yang baik, pemimpin dalam kemajuan, dan keterbukaan terhadap kesempatan serta inspirasi bagi semua orang di seluruh dunia. Good Luck dan Congratulations to all Americans!

Komentar

Postingan Populer