Cara Netizen untuk Menghindari Depresi dan Gelisah Akibat Media Sosial
Realitas Sosial Terbentuk oleh Paparan Media yang Konstan
Ada sebuah teori media yang namanya Teori Kultivasi, yang dikemukan oleh George Gerbner di tahun 60an. Meski Teori Kultivasi adalah teori yang mengkaji efek jangka panjang dari khalayak televisi, relevansinya pada media sosial begitu relevan. Teori ini mengatakan bahwa orang yang terpapar media dalam waktu yang lama cenderung akan memahami realitas sosial seperti apa yang disajikan di media tersebut. Kalau dalam fenomena media sosial, pemahaman realitas sosial yang dibentuk oleh paparan media sosial yang konstan akan menjadikan seseorang 'living in the bubble', atau hidup dalam realitas sosialnya masing-masing (baca: Filter Bubble).
Bayangkan seorang anak berusia 7 - 14 tahun menggunakan media sosial secara konstan, mungkin tanpa pengawasan orang tua, melihat konten-konten yang menyuguhi kemewahan, keintiman laki-laki dan perempuan, pameran fisik yang menawan, dan lain sebagainya, kemudian anak ini membandingkan realitas hidupnya dengan realitas yang disuguhi di media sosial, tentu hal ini akan berdampak pada psikologis si anak. Begitu juga dengan orang dewasa. Konten-konten seperti yang membuat masyarakat dengan penghasilan 1 juta - 2 juta sebulan berjuang mati-matian untuk membeli iPhone, kredit Honda CBR, atau mungkin melakukan tindakan-tindakan yang tidak baik.
Lebih lanjut, melalui media sosial anak ini akan belajar bahwa sukses itu ditandai dengan materi. Anak ini akan belajar bahwa kasih sayang ditunjukkan dengan sentuhan-sentuhan intim dan memanjakan pasangan dengan harta. Anak ini juga belajar bahwa kalau saya mau punya banyak pengikut, setidaknya saya harus cantik atau ganteng seperti si A atau si B, dan sedikit menunjukan belahan dada atau lekukan tubuh. Semua itu yang saya sampaikan baru gambaran yang terjadi di ranah kognitifnya. Bagaimana dengan afektifnya? Apalagi setelah dia belajar bahwa dia tidak bisa memiliki materi tersebut untuk saat ini, atau dia belajar bahwa wajah saya tidak sesuai dengan kriteria cantik atau ganteng yang dianutnya. Tentu hidup anak ini akan merana, tidak bahagia, dan depresi.
Media Sosial Yang Terus Menerus Membuat Netizen Jadi Depresi
- Pahami bahwa apa yang ditampilkan di media sosial adalah sebuah realita sosial yang difabrikasi, direkayasa, atau sengaja diciptakan untuk mencapai tujuan tertentu. Dengan memahami ini, anda bisa coba mulai mencerna suatu konten dari sudut pandang yang beragam. Memang sudah banyak yang berusaha menyadarkan ini, tapi rata-rata netizen tidak bisa move on dari konstruksi realitas yang disajikan.
- Tutup akun media sosial anda yang jarang anda gunakan dan juga akun membuat diri anda gelisah atau depresi. Lawan adiksi (kecanduan) anda pada akun media sosial, konten, dan netizen toxic yang ada di hidup anda.
- Fokuskan energi anda pada kegiatan-kegiatan yang produktif untuk merealisasikan cita-cita anda. Jika cita-cita anda menjadi selebgram atau Youtuber, tidak masalah. Fokuskan energi anda untuk menjadi orang yang turut menciptakan konten di media sosial alih-alih hanya menjadi penonton yang depresi.
- Kembali interaksi di dunia nyata yang lebih bermakna bersama keluarga dan teman-teman. Bukan interaksi dengan orang-orang tidak dikenal yang di mediasi oleh media sosial. Anda juga bisa menghubungi teman-teman lama anda yang sudah lama tidak berinteraksi. Sehingga tercipta hubungan yang nyata antarmanusia.
- Bergabung dengan sebuah komunitas baru yang sesuai dengan minat anda. Dengan komunitas, anda akan menciptakan lingkaran pertemanan baru yang memberikan penyegaran pada diri anda.
- Mengikuti kelas atau kursus yang mendukung kebutuhan karir atau cita-cita anda. Selain menambah keahlian dan pengetahuan, anda juga bisa membangun pertemanan baru di dalam kegiatan yang produktif ini. Disamping itu, belajar memberikan efek yang positif dimana anda merasa melakukan sesuatu yang bermakna pada hidup anda.
- Selalu mengikuti perkembangan berita melalui berbagai media di luar media sosial anda. Lebih utama jika anda tetap memantau media konvensional lainnya alih-alih hanya media online. Media online memiliki tracker, media sosial memiliki algoritma yang fungsi menyajikan apa-apa yang ingin anda lihat saja. Hal ini merupakan sisi negatif dari personalisasi konten: anda tidak bisa melihat realitas lainnya yang terjadi diluar sana. Sehingga sesekali baca koran, nonton TV, dengarkan radio, ngobrol sama teman, diskusi sama politik sama pacar, diskusi parenting sama tetangga, dan seterusnya. Kuncinya jaga keseimbangan realitas media sosial anda dengan realitas di dunia nyata.
- Terakhir (meskipun bukan menjadi yang benar-benar terakhir) adalah dengarkan diri anda, pahami anda, kendalikan diri, dan kendalikan media sosial anda. Jangan sampai anda dikendalikan oleh Media Sosial anda. Mulai dari frekuensi menggunakan, hingga memfiltrasi konten-konten atau netizen-netizen yang toxic dan mengganggu kedamaian anda.
Komentar
Posting Komentar