Kenapa Orang Mengatakan Dunia Ini ‘Overpopulated’, Sementara Saya Melihat Bumi Ini Begitu Luas?


Sudah jalan setengah tahun saya tinggal di Pekanbaru. Sebuah kota yang yang katanya isinya orang-orang kaya. Kaya karena kandungan minyak di bumi Lancang Kuning tersebut, dan juga kaya karena hutan-hutan rimbanya dialih fungsikan menjadi lahan-lahan sawit. Selama periode tersebut, berkat teman Dosen bernama Al Sukri, “Pak Ale” saya memanggilnya, saya merasa sangat beruntung bisa mengunjungi daerah-daerah di Riau yang mungkin warga Pekanbaru, ataupun warga Riaupun belum pernah mengunjunginya. Selama Pekanbaru saya beruntung bisa mengunjungi Desa Nelayan Sinaboi dan ikut memancing di perbatasan selat Malaka, perbatasan perairan Indonesia dan Malaysia. Tinggal di rumah asli penduduk kepenghuluan Sekeladi, melihat warga setempat mandi dan buang air di sungai Rokan Hilir, Tidur di Balai Musyawarah Para Batin di tengah-tengah hutan tempat suku Sakai berada, sampai menyusuri hutan perawan yang masih asri dan kaya akan sumber-sumber penghidupan masyarakat Sakai yang tinggal disekitarnya.

Singkat kata, momen-momen berharga itu membuat saya merasa begitu kerdil di tengah-tengah kemegahan bumi Tuhan yang hanya butiran pasir di semestaNya.

Bumi ini begitu luas untuk disekat-sekat oleh norma-norma geografis dan nilai-nilai sistem identitas ciptaan manusia. Bumi itu begitu kaya untuk divaluasi dengan kaidah-kaidah keuangan modern yang kini menjelma menjadi Tuhan bagi budak-budak kapitalisme dan konsumerisme. Bumi ini begitu perkasa untuk sekedar dieksploitasi oleh ketamakan dan ambisi manusia yang merasa bisa menaklukkan dunia sepenuhnya.



Begitu sombongnya manusia merasa bisa menguasai sebidang wilayah tanah di bumi. Begitu sombongnya manusia merasa benar untuk mengambil hak orang lain dan merusakan alam. Begitu sombongnya pula manusia merasa yang paling bisa merawat bumi setelah mahluk sejenisnya mengeksploitasi bumi bertahun-tahun.


Saya mungkin termasuk orang yang beruntung bisa melihat dunia di luar kota besar Jakarta yang telah membesarkan saya. Lebih beruntung lagi saya diberikan kesempatan dalam waktu yang singkatdi Riau melihat kehidupan selain kehidupan kota besar yang gemerlap. Saya hanya bisa membayangkan warga Amerika Serikat yang katanya negara paling hebat tersebut, warganya tidak pernah melihat kehidupan di luar wilayah geografisnya. Pantas saja mereka merasa hebat, karena mereka tidak diberikan kesempatan untuk menyaksikan betapa luasnya bumi ini. Bahkan mereka tidak bisa membedakan mana agama, mana budaya, mana yang realita, dan mana yang fabrikasi.




Melihat kehidupan yang lain membuat narasi ‘overpopulated’ yang datang dari Barat itu seperti mengada-ngada. Di tahun 2022 ini, Peserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memproyeksikan ada 8 milyar manusia di bumi dan akan terus tumbuh. Jika populasi terus bertambah, manusia tidak akan punya tempat tinggal, tidak bisa makan, tidak bisa mendapatkan fasilitas kesehatan dan lain-lain sebagainya. Karena kapasitas makanan, kapasitas lahan, penyedia jasa kesehatan tidak bisa mengikuti pertumbuhan penduduk. Disinilah cara pandang yang menurut saya harus dipertanyakan. Narasi yang mengada-ngada itu berangkat dari fundamental cacat yang menanggap bahwa hanya kapitalisme yang bisa memberikan kehidupan kepada manusia sebagai objek perekonomian. Hanya kapitalisme yang bisa memberikan kehidupan layak yang ideal bagi manusia yang beradab. Yang hidupnya tidak sesuai dengan standard modernitas dianggap tidak beradab dan liar (savages). Pantas saja dunia itu terasa sempit bagi mereka, karena orang-orang yang “tidak beradab” ini pertumbuhan populasinya terus tumbuh tidak terkendali dan merusak tatanan kehidupan yang dicita-citakan kelompoknya. Padahal Tuhan sudah berjanji melalui berbagai firmannya bahwa Dia akan memenuhi segala kebutuhan hamba-hambaNya yang saleh dan bertawakal.

  • Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya”. [Ath-Thalaq/65 : 3]
  • “Tidak suatu binatangpun (termasuk manusia) yang bergerak di atas bumi ini yang tidak dijamin oleh Allah rezekinya.”(QS. Hud: 6).
  • jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (mereka diberikan rezeki yang banyak).( Q.S, Al-Jin : 16).

Jika dikatakan bumi tidak bisa menampung 8 milyar orang, mengapa masih banyak lahan di bumi yang kosong dan bisa ditinggali manusia? Bicara Indonesia saja, saya jalan-jalan ke Rokan Hilir, Rokan Hulu, Duri, Dumai, bahkan di kota Pekanbaru sekalipun, masih banyak ruang yang perlu dikembangkan. Kalau kacamata pembuat narasi hanya fokus pada kota besar seperti Jakarta, ya sudah pasti akan menjadi tantangan pengendalian populasi karena semesta berpikirnya lebih sempit.



Saat ini katanya ada 270 juta penduduk di Indonesia, dan bagi BKKBN, kita harus mengendalikan laju populasi penduduk. Narasi yang belakangan di bangun adalah soal pernikahan dini yang mengakibatkan banyak perceraian dan permasalahan sosial seperti gizi, pendidikan, dan lain-lain. Begitu repotnya sekelompok orang mengurusi urusan banyak orang lainnya. Padahal manusia bisa adalah mahluk yang organik yang dibekali fitrah dan akal yang sama dengan manusia lainnya. Life will find the way.


Bumi Allah begitu luas dan semua mahluk yang hadir di hamparannya, adalah ketentuanNya.


Komentar

Postingan Populer