Pentingnya Memahami Frame of Reference and Field of Experience Klien Ketika Menyampaikan Presentasi dan Rekomendasi


Kejadian ini terjadi  di tahun 2015, Suatu hari saya bersama atasan saya diundang untuk berbicara oleh klien. Waktu itu klien kami adalah sebuah perusahaan teh di Indonesia, dan kami diminta berbicara mengenai Brand Architecture. Topik ini sangat relevan sekali pada saat itu karena perusahaan ini baru saja resmi melakukan spin off salah satu unit bisnisnya menjadi sebuah perusahaan yang berdiri sendiri. Pada hari kami diundang untuk berbicara bertepatan dengan hari peresmian perusahaan yang baru berdiri tersebut. 

Acara dilaksanakan di sebuah hotel ternama di kawasan Hayam Wuruk Jakarta. Saya sangat semangat karena bisa berbagi pengetahuan dan rekomendasi saya kepada klien, namun sedikit tegang karena partisipannya adalah Area Sales Manager, Regional Sales Manager, hingga Managing Director dari perusahaan tersebut. Ketegangan ini muncul karena kekhawatiran apakah materi yang akan saya sampaikan bisa dipahamidengan baik dan bisa mengundang banyak diskusi. Apalagi kita tahu bahwa divisi Marketing, Brand. dan Sales seringkali "berseberangan" cara berpikirnya.

Singkat kata, saya pun akhirnya presentasi mengenai topik tersebut. Ketika nama saya dipanggil dan maju ke depan, tampak para peserta sedikit skeptis ketika melihat saya maju ke depan, mengambil mic, dan mulai berbicara. Dalam hati saya bilang “apapun yang terjadi, the show must go on“. Ketika substansi presentasi mulai disampaikan, analisis saya pada portfolio perusahaan dijelaskan, hingga sampai pada bagian rekomendasi semua peserta tampak serius menyimak, Hingga masuk sesi tanya jawab, peserta pun sepertinya tidak ada yang bertanya. Hanya satu dua orang saja yang mengajukan pertanyaan, namun secara pribadi bukan pertanyaan yang saya harapkan karena pertanyaannya merujuk kepada detail kecil dari konsep yang besar. Pertanyaannya waktu itu seperti ini: 

“Jadi logonya harus ditaruh di gelas plastik atau tidak ya pak bagusnya?”. 

Saya curiga jangan-jangan konsep yang tadi panjang lebar saya jelaskan tidak begitu dipahami, dan ternyata memang demikian adanya.

Setelah selesai presentasi saya, akhirnya Managing Director (MD) dari perusahaan maju ke depan dan menyampaikan kalimat penutup untuk sesi peresmian tersebut. Sebelum ia memulai pidato penutupan, bapak MD ini mengucapkan kalimat terima kasih yang agak unik dan terus terang membuat kami para peserta terkejut dan tentu saja tertawa.

“Saya mau ucapkan terima kasih pada pak (sebut saja) Yon dan pak Ichsan, karena sudah menyampaikan sebuah materi yang sangat menarik mengenai Brand Architecture. Tadi kita sudah dengar ya materi yang membuat kita.. sedikit bingung.. (peserta tertawa)… kita dibuat bingung sama pak Ichsan.. memang anak muda ini kurang ajar (dengan nada bercanda)! (peserta tertawa), kita semua dibuat tegang karena bingung. Tapi karena bingung ini kita jadi harus banyak belajar. Maka tidak salah kita mengajak XXX agency sebagai mitra kerjasama kami agar mengurusi hal-hal yang membuat kita bingung. (peserta kembali tertawa).

Walaupun ditutup dengan sangat ringan dan hangat, saya pun akhirnya didekati oleh General Manager yang waktu itu menjadi PIC dari proyek tersebut. Dan dia pun menyampaikan pesannya kepada saya:

“Pak Ichsan ini kalau bicara terlalu canggih. Coba pak agak dibuat ringan (disesi-sesi berikutnya). Kita bingung pak kalau dikasih materi kayak di kampus pak atau materi macam visi-misi yang disampaikan sama pak Dirut, soalnya kita ngertinya cuma jualan saja pak.”
Masukan tersebut tentu menjadi masukan yang sangat baik untuk saya yang baru beberapa tahun berkarir sebagai Freelance Strategic Planner.  Peristiwa ini menjadi pembelajaran yang terus saya ingat hingga kini sudah lebih dari 1 dekade menjadi Strategic Planner "lepasan" yang di-hire oleh beberapa Agency di Jakarta.

Walaupun pertemuan itu dipenuhi canda tawa, tapi buat saya itu adalah evaluasi yang berharga. Kesimpulan saya waktu itu adalah: Sesuaikan cara bicara mu dengan menggunakan bahasa lawan bicara mu. Sebagai seorang Strategic Planner yang seringkali silih berganti klien dengan kasus-kasus yang berbeda tentu upaya untuk memahami Frame of Reference lawan bicara dan Field of Experience nya menjadi sangat penting. Jika tidak dilakukan, maka sebenar apapun rekomendasi kita, tidak akan bisa dipahami apalagi diterima sebagai sebuah rekomendasi yang konstruktif.

Ketika kita berbicara di depan mahasiswa, maka bicaralah menggunakan bahasa mahasiswa. Ketika berbicara di depan petani, maka bicaralah bahasa petani. Bicara kepada siapapun, etika, sopan santun, dan kehormatan sesama harus dijaga.

Komentar

Postingan Populer