Perilaku Pemimpin dan Masyarakat Amerika Serikat Yang Merusak Reputasi 'The Brand USA'


America. The American Dream. The Land of Opportunity. Setidaknya itu terasosiasikan dibenak saya ketika mendengar "Amerika" sebagai sebuah Nation Brand. Sampai hari ini, saya memiliki perasaan yang bercampur-aduk ketika berbicara mengenai Amerika Serikat (AS). Di satu sisi saya merasa kagum dengan inovasinya, egalitarian-nya, kebebasan berpendapatnya, dan juga pengaruhnya pada negara-negara lain. Bagaimana kekuatan medianya, kekuatan militer beserta kampanyenya, dan cengkeraman mata uangnya yang menggurita sehingga bisa membuat negara lain “patuh”.

Masih ingat betul bagaimana saya mengikuti detik tiap detik pilpres AS ketika Barack Obama menorehkan sejarah sebagai presiden kulit hitam pertama AS. Saya sampai bersorak-sorai pada waktu itu saking merasa menjadi bagian dari demokrasi yang digelarnya. Sejak itu, hingga hari ini saya selalu menyempatkan diri untuk mengikuti serunya debat capres Republik VS Demokrat hingga hari perhitungan suaranya.  

Pandangan saya terhadap 'Paman Sam' mulai berbeda sejak Donald Trump menjadi Presiden dari Partai Republik. Donald Trump merupakan sosok yang sebenarnya juga saya kagumi sebagai seorang pengusaha. Beberapa bukunya saya baca ketika saya dibangku kuliah. Tapi entah mengapa pada saat dirinya menjabat, kok sepertinya dunia jadi goncang! Dampak kebijakan ternyata terasa tidak enak. Betapa Donald Trump mengubah wajah AS dari “Pemimpin Dunia” yang mempromosi Standar Moral secara Global, menjadi sebuah “Enterprise” yang mendahulukan kepentingan nasionalnya. Ternyata dampaknya luar biasa! Pikiran saya pada waktu itu: “This is weird! This is not the USA I knew”.

Kebangkitan Masa Kegelapan AS



AS di masa Pemerintahan Donald Trump terkesan seperti memasuki Dark Ages. Setidaknya itu kesan yang dimunculkan oleh media-media besar seperti CNN dan media barat arus utama kebanyakan. Disaat yag bersamaan, Donald Trump sebagai kepala pemerintahan pun melawan arus berita dengan mengatakan semua berita itu adalah palsu atau fake news. Baru kali ini saya melihat fenomena pemerintah melawan media massa seperti itu. Sehingga tidak terhindari di masa pemerintahan Donald Trump mulailah muncul ke permukaan kobobrokan AS sebagai sebuah negara beserta masyarakatnya. 



Pada periode tersebut, dunia seperti digiring untuk melihat AS sebagai negara yang semakin rasis yang juga dipimpin oleh presiden yang rasis, bully, tidak percaya sains–bahkan untuk ini Hollywood meluncurkan film Don’t look Up untuk mengolok-olok Pemerintahan Trump–tidak percaya media massa, anti-imigran, anti-Muslim, dan seterusnya. Pada masa itu juga muncul sentimen negatif terhadap kepolisian, kebangkitan white supremacist, Mass Shooting, dan yang paling memukul seluruh warga dunia adalah kemunculan pandemi Covid-19. Meskipun tidak bisa dibuktikan, tapi banyak teori konspirasi yang mengatakan bahwa Pandemi Covid-19 adalah senjata biologis yang digunakan untuk "menjatuhkan" rezim yang berkuasa pada waktu itu.

Intinya pada waktu itu Donald Trump digambarkan sebagai sosok yang membawa AS kepada ke keterpurukan. Maka singkat kata, saya pribadi pada waktu itu berharap Joe Biden memenangkan Pilpres, yang mana akhir ceritanya the ‘Big Man, Uncle Joe' memenangkan pertarungan ini. Meskipun kemenangan Joe Biden dikatakan sebagai kemenangan yang "sudah diatur", Saya pun bersorak-sorai atas kemenangan tersebut dan berpikir akhirnya AS bisa kembali menjadi pemimpin dunia yang seharusnya. Tapi ternyata, bukannya mengembalikan kejayaannya, AS dibawah kepemimpinan Joe Biden ini mulai menunjukkan wajah baru yang jauh lebih mengkhawatirkan.


Kegelapan Yang Semakin Menggulita


Gerakan Menempelkan Stiker Joe Biden di SPBB Ketika Harga Oil and Gas Yang Semakin Mahal

AS yang ditanamkan di otak saya sejak lama adalah negara adidaya dengan pengaruh besar di dunia yang menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia. Sebuah konsep bernegara yang sangat inspiratif dan bisa dikatakan menjadi kiblat banyak negara di dunia, salah satunya Indonesia. Ketika Joe Biden mengalahkan Donald Trump, ada perasaan bahwa nilai-nilai hebat itu akan kembali "tegak". Sentimen rasialis, kebebasan pers dalam memberitakan isu-isu dalam dan luar negeri, dan hak asasi manusia, khususnya para imigran disana, akan kembali membaik. Kesan itu setidaknya muncul di dalam benak saya pada waktu itu. Namun, seiring kepemimpinan Joe Biden berjalan, semua nilai-nilai hebat tersebut berevolusi lagi menjadi sesuatu yang baru. Sesuatu yang lebih gelap. Di masa Joe Biden ini, dunia (atau setidaknya saya) melihat bahwa nilai-nilai kebebasan, demokrasi, hak asasi manusia ini menjadi sesuatu yang tidak lagi dikenali dan bahkan melampaui batas-batas yang ada.


Standar Ganda dan Hipokrit Dalam Ucapan dan Tindakan



Double Standard di US mengenai Okupansi

Pada saat tulisan ini ditulis, peta geopolitik dunia sedang berubah. BRICS tampil sebagai economic powerhouse masa depan dunia, isu dedolarisasi mencuat, anggota NATO tidak kompak imbas dari perang yang digelorakan di Ukraina, dan China sebagai negara yang “ditakuti” oleh AS tampil sebagai “pemain dunia” menggantikan peran AS dalam pergaulan internasional. Situasi ini tentu merupakan situasi yang tidak menyenangkan bagi “AS Enterprise” dan tentu bagi orang-orang yang bekerja mengurus kepemerintahan AS yang dipimpin oleh Joe Biden.

Di masa kepemimpinan Joe Biden dan Partai Demokrat, ternyata AS menjadi “Enterprise” yang lebih “haus darah” tapi lebih “manis di bibir”. Banyak pernyataan politik AS yang tidak sejalan dengan aksi yang dijalankan. Hal ini membuat banyak orang melihat AS sebagai negara yang hipokrit. AS seringkali mengklaim dirinya sebagai pemimpin dunia yang membela kepentingan global dan menjaga perdamaian dan stabilitas. Namun, dalam kenyataannya, AS seringkali melakukan intervensi militer, sanksi ekonomi, dan campur tangan politik terhadap negara-negara lain yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka. Beberapa tindakan AS juga dinilai melanggar hukum internasional, hak asasi manusia, dan perjanjian-perjanjian multilateral. Akibat perilaku ini, banyak negara mulai mengevaluasi kembali hubungannya dengan “AS Enterprise” guna menyelamatkan diri dari standar ganda yang konsisten diterapkan oleh AS. Jika di paragraf sebelum ini isu-isu yang disebutkan berada di level negara, reputasi AS saat ini juga tercoreng akibat apa yang terjadi di level masyarakat-nya. Saya berhipotesis, bahwa konten-konten yang disajikan dengan berbagai bingkai terkait permasalahan sosial budaya yang terjadi di dalam masyarakat AS itu sendiri berpengaruh pada devaluasi 'brand USA' di mata masyarakat di dunia, khususnya di Asia.

Kebebasan Yang Tidak Ada Batasnya


Elon Musk dan Tweet nya yang Menguak Permasalahan Sosial di Barat Pada Umumya

Freedom adalah salah satu nilai yang selalu dipromosikan oleh "AS Enterprise". Semua orang bebas untuk mengekspresikan pendapatnya, dan bebas untuk mengejar segala impiannya. Tapi siapa yang menyangka bahwa kebebasan yang tak terbatas ini berujung pada krisis eksistensialisme, dimana muncul banyaknya sosok laki-laki dan perempuan yang ingin bebas dari realitas biologisnya. Kebebasan dalam "menjadi" pun bahkan juga diberikan kepada anak-anak kecil untuk mengekplor perasaannya untuk menentukan gender tanpa sepengetahuan orang tuanya. Dipinggir jalan orang bebas menghina orang lain yang memiliki ras dan agama yang berbeda. Di atas panggung orang bebas mengganggu ketertiban publik demi membela apa yang dipercayanya. Di forum online, orang bebas menghina orang lain dengan membuat meme dengan grafik yang tidak baik. Dari AS dunia bisa melihat harga dari sebuah kebebasan 

Kebebasan di AS yang tidak ada batas ini membuat banyak orang melihat way of life orang Amerika tidak sejalan dengan budaya yang berlaku di negara-negara Timur. Orang Asia umumnya memiliki budaya yang lebih kolektif, harmonis, berorientasi pada keluarga, dan mengakui perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan sebagai sebuah fakta yang tidak terbantahkan. Umumnya masyarakat Asia menghargai nilai-nilai seperti sopan santun, kerendahan hati, dan tanggung jawab sosial. Sementara itu, banyak orang AS cenderung menunjukkan perilaku dan budaya yang lebih individualis, berorientasi pada diri sendiri, dan narsistik ekstrim. Kebebasan yang kebablasan ini seringkali menimbulkan dampak negatif seperti kekerasan, kriminalitas, rasisme, dan diskriminasi. Missgendering seorang saja bisa dianggap diskriminatif terhadap hak-hak asasi seseorang. Kehidupan di AS seperti semakin sulit ketika banyak manusia hidup di alam angan-angan. Maka tidak heran jika banyak orang Asia yang merasa tidak nyaman dengan gaya hidup orang AS yang terlalu bebas dan tidak memiliki standar moral selain kebebasan itu sendiri.

Film-film Hollywood, Netflix, Disney yang diekspor dari Barat pada umumnya dan AS pada khususnya banyak menggambarkan perilaku masyarakat yang tidak memiliki standar moral, budaya, dan agama. Dari dulu kita orang tua Asia seringkali mewanti-wanti jika anak-anak menonton film Hollywood yang menampilkan adegan-adegan yang vulgar, kejam, dan tidak bermoral. Film-film Hollywood juga seringkali mengekspos budaya populer Amerika yang materialis, hedonis, dan sekuler. Sekarang bahkan mulai menampilkan ideologi LGBTQ+ melalui film-film orang dewasa maupun untuk anak-anak. Promosi nilai-nilai yang melampaui batas ini justru membangun dinding pemisah antara nilai, budaya, dan agama di Asia dan yang ada di Barat.

Ketimpangan Ekonomi dan Kecerdasan Masyarakat Yang Semakin Besar


Homeless People in the US

Sejak pandemi Covid-19 pemberitaan yang beredar mengenai meningkatnya orang-orang yang tidak punya rumah menunjukkan kondisi kehidupan di AS yang semakin sulit. Padahal AS adalah negara kaya yang memiliki ekonomi terbesar di dunia dan menjadi rumah bagi 735 Milyarder (2023). Namun, di balik kemakmuran itu, kemiskinan menjadi realitas yang menyelimuti banyak warga negaranya. Menurut data dari Departemen Perumahan dan Pembangunan Kota AS (HUD), pada tahun 2020 ada sekitar 580 ribu orang Amerika yang tidak punya rumah atau homeless. Jumlah ini meningkat 2 persen dari tahun sebelumnya. Faktor-faktor seperti pengangguran, krisis kesehatan, ketimpangan sosial, dan biaya perumahan yang tinggi menjadi penyebab utama masalah ini. Banyak orang Asia yang merasa prihatin dengan kondisi kehidupan di AS yang semakin sulit ditengah masyakat yang individualis.




Berkat Media Sosial, hari ini semakin banyak konten-konten dari oknum-oknum pencipta konten di dunia  yang mengekspos “kebodohan” dari bangsanya sendiri. Meskipun hal itu bertujuan untuk mendapatkan perhatian dan keuntungan melalui konten, justru sebenarnya secara bersamaan mereka sedang membuka aib dari kelompoknya mereka sendiri. Dari konten-konten yang beredar, sebagian dari kita bisa melihat bahwa warga AS itu tidak sama dengan citra yang dibangun oleh negaranya. Ternyata orang-orang Barat, AS pada khususnya, itu ada yang “bodoh” juga ya. Semakin “bodoh” konten yang ditampilkan, semakin ramai kontennya. Semakin ramai kontennya, semakin terbentuk juga stereotipe bahwa warga AS banyak yang “bodoh”. Pada akhirnya anggapan terhadap bahwa warga AS sebagai orang yang “hebat” menjadi sesuatu yang absurd dan tidak bisa dipercaya.

Singkat kata, AS di era Joe Biden ini benar-benar suatu era yang baru buat saya. Memang degradasi nilai ini bukan sepenuhnya salah Donald Trump ataupun Joe Biden. Justru masyarakat dunia harus berterima kasih kepada dua presiden ini karena berkat mereka berdua, dunia jadi mengetahui apa yang sebelumnya tidak diketahui oleh banyak orang. Dari Donald Trump kita jadi mengetahui bagaimana sistem politik, media, dan industri di AS yang sesungguhnya bekerja, dan dari Joe Biden kita juga mengetahui bahwa pemerintahan AS ternyata bisa “berjalan” secara autopilot meskipun dipimpin oleh orang yang diduga mengalami demensia. Dengan segala kemerosotan ini, saya tidak menyangka bahwa kini saya berharap agar Donald Trump dan Republican kembali berkuasa dan Make America Great Again. Harapan saya cuma satu: yaitu agar manusia-manusia kapitalis konservatif ini bisa kembali menegakkan nilai-nilai tradisional yang telah melampaui batas ini kembali kepada jalurnya, sehingga AS bisa menjadi bangsa dan negara yang menginspirasi lagi bagi masyarakat dunia. All the Best.

Komentar

Postingan Populer