Apa Iya Dalam Politik Yang Populer Itu Lebih Unggul Daripada Yang Punya Gagasa


Saya pribadi banyak belajar dari Pilgub DKI Jakarta 2017 dan Pilpres 2019. Demi kebaikan bangsa dan negara, memang benar kita semua harus berpartisipasi dalam pesta politik selagi punya kekuatan untuk ke Tempat Pemungutan Suara. Kedua tahun itu adalah pesta demokrasi yang suram menurut saya. Bangsa ini terpecah belah. Polarisasinya sangat terasa hingga ke unit masyarakat terkecil, yaitu KELUARGA! Lucunya, setelah kita semua dipecahbelah oleh narasi politik masing-masing kandidat, eh ternyata elit politik-nya malah berkoalisi. Lucu kan? Sayangnya sampai saat ini, menjelang Pilpres 2024, banyak dari kita masih belum belajar dari peristiwa itu dan termakan dengan politik identitas yang sempit, dan politik uang yang bikin masyarakat tambah stupid. Sehingga dengan cara bermain politik seperti itu, popularitas dan ketokohan tentu akan menjadi kunci utama pemenenangan. Mereka yang paling alim, paling dekat dengan santri, anak kyai, anak pejabat, dan yang ngasih duit paling banyak, akan jadi lebih populer. Padahal di dalam bernegara dan berbangsa, ada yang jauh lebih penting daripada sekedar menjatuhkan suara kita berdasarkan popularitas.
 
Lagi-lagi ini pendapat pribadi. Bacapres 2024 yang saat ini muncul ada 3 nama. 1 orang masih mitos dan tidak tahu apakah akan benar-benar didaftarkan atau enggak. Dan benar saja, ketiga nama ini dimunculkan karena mereka sosok yang sangat populer, setidaknya berdasarkan lembaga survey yang digunakan oleh partai-parta yang ada. Meski populer, tapi secara gagasan, sampai saat dari ketiga sosok populer tersebut belum ada yang menonjol. Semuanya datar-datar saja dan cenderung populis. Bacawapres pun yang muncul juga namanya itu-itu lagi. Saya jadi berpikir, apakah "kaderisasi" dalam partai itu benar-benar berfungsi? Apa tidak ada kader yang lebih baik daripada yang paling populer ini? 

Secara teori, Politik adalah seni mempengaruhi orang banyak untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam konteks demokrasi, politik juga berarti persaingan antara berbagai pihak untuk mendapatkan kekuasaan dan legitimasi dari rakyat. Namun, di dalam negara yang katanya demokrasi ini, kita harusya bisa lebih kritis dalam meihat bagaimana persaingan politik di Indonesia itu dimenangkan. Apakah kemenangan itu terjadi karena gagasan yang bermanfaat bagi masyarakat, atau hanya sekedar karena popularitas yang tinggi di mata publik? 

Di paragraf-paragraf berikutnya, saya akan menyebut beberapa nama dan beberapa situasi yang menjadi indikator yang perlu kita amati bersama. Mengamati nama-nama yang muncul di layar kaca menjelang pemilu 2024 ini sepertinya memang popularitas itu menjadi kunci strategi pemenangan politik yang lebih utama di Indonesia, daripada gagasan. Beberapa contoh nama-nama dan situasi berikut ini adalah contoh-contoh yang mendukung hipotesis ini. 

Kaesang Pangarep yang beberapa waktu lalu diangkat sebagai Ketua Umum PSI. 

Kaesang Pangarep adalah putra bungsu Presiden Joko Widodo yang dikenal sebagai seorang pengusaha dan selebritas media sosial. September 2023 lalu, Kaesang diangkat menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggantikan Giring Ganesha, mantan vokalis band Nidji yang juga merupakan selebritas. Kaesang sendiri dalam pernyataannya mengaku bahwa dirinya tidak memiliki pengalaman politik sebelumnya, Keputusan PSI untuk mengangkat Kaesang sebagai ketua umum menunjukkan bahwa partai tersebut mengandalkan popularitas Kaesang sebagai "aset" politik. Sebelumnya, Giring Ganesha juga membuktikan bahwa popularitas lebih “utama” dibandingkan gagasan, karena ia berhasil membawa PSI lolos ke parlemen pada Pemilu 2019 dengan perolehan suara sebesar 4,2 persen, meskipun gagasan-gagasan PSI tidak terlalu dikenal oleh masyarakat.


Aldi Taher, selebritas Kader Perindo Yang Mencari Panggung di Politik. 

Secara pribadi saya terhibur dengan kelakuan selebritas ini. Aldi Taher adalah seorang aktor dan penyanyi, yang sering membuat kontroversi dengan perilaku dan ucapan-ucapannya di media sosial. Dirinya mengklaim bahwa ia jauh lebih banyak mendapatkan atensi dari publik dibandingkan isu-isu strategis yang menjadi bahasan di dalam negeri. Sosok Aldi Taher menunjukkan bahwa popularitas dianggap memiliki daya tarik dan pengaruh yang besar di masyarakat. Dalam banyak wawancara, Aldi Taher banyak mendapatkan perhatian-dan nada dukungan dari netizen-tanpa harus menyampaikan gagasan. Adapun sesuatu yang disampaikannya sebagai sebuah gagasan, penyampaian dilakukan dengan cara yang mengada-ngada. Pemilu tahun ini akan menjadi moment of truth bagi kita semua, apakah Aldi Taher dan karakter uniknya bisa mengantar dirinya menjadi wakil rakyat. Menurut data KPU, ada sekitar 200 selebritas yang menjadi caleg dari berbagai partai politik.

Politikus dan Pejabat yang 'Main' Media Sosial. 

Kita tahu bahwa Media sosial kini menjadi salah satu sarana komunikasi politik yang efektif dan "murah" di era digital. Banyak politikus dan pejabat yang memanfaatkan media sosial untuk membangun citra dan popularitas mereka di mata masyarakat. Misalnya, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan yang aktif menggunakan Instagram untuk membagikan aktivitas dan program-programnya. Selain itu, ada juga politikus yang menggunakan media sosial untuk membuat konten-konten yang menarik dan menghibur, seperti Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno yang sering membuat video TikTok, atau Wali Kota Surakarta Gibran Rakabuming Raka yang sering membuat meme dan vlog. Dengan tampil di media sosial, politikus berharap dapat lebih “terkenal” di mata masyarakat, dan meningkatkan elektabilitas mereka.

Sistem Penentuan Bakal Calon Pemimpin Berdasarkan Survey. 

Sistem penentuan bakal calon pemimpin di Indonesia juga ditentukan berdasarkan popularitas. Hal ini terlihat dari cara partai politik memilih calon presiden dan wakil presiden untuk Pemilu 2024. Banyak partai politik yang menggunakan hasil survei sebagai acuan untuk menentukan calon mereka, karena survei dianggap mencerminkan popularitas dan keterpilihan seseorang di mata publik. kita tahu sampai hari ini nama yang masuk dalam bursa calon presiden 2024 adalah Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo, dan Anies Baswedan. Ketiga sosok ini mungkin bisa dikatakan menjadi sosok yang sering diperbincangkan dalam lima tahun terakhir, baik itu sentimennya positif maupun negatif. Sayangnya lagi, penentuan sosok-sosok ini sebagai bacapres ini ditentukan secara tertutup oleh partai, dan mempertimbangkan hasil survei. Bukan dengan cara konvensi dimana putra-putri terbaik bangsa dari partai menyampaikan gagasan secara umum dan disaksikan oleh publik.

Nama-nama dan situasi di atas bisa fakta yang bisa kita amati, dan menjadi bukti bahwa Indonesia ini masih terbelenggu dengan politik ketokohan. Sehingga nuansa-nuansa yang bersifat sektoralpun masih menjadi isu yang muncul dalam politik di masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kita sebagai bangsa belum matang dalam berdemokrasi. Beberapa faktor yang menyebabkan popularitas menjadi penting dalam politik Indonesia, antara lain:

  • Kurangnya literasi politik masyarakat. Literasi politik masyarakat Indonesia masih rendah, karena banyak masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang cukup tentang politik. Hal ini menyebabkan masyarakat mudah terpengaruh oleh faktor-faktor non-rasional dalam memilih pemimpin atau wakil rakyat, seperti popularitas, simpati, emosi, atau primordialisme. Masyarakat cenderung memilih orang yang sudah dikenal atau disukai, tanpa mempertimbangkan gagasan atau visi-misinya. Rendahnya literasi masyarakat ini akhirnya dimanfaatkan oleh para kandidat politik yang ingin memenangkan kontestasi politik dengan hanya mengedepankan popularitas mereka daripada substansi gagasan mereka sebagai politisi, Masyarakat dibiarkan "bodoh" secara politik untuk kepentingan oknum politisi seperti ini.
  • Kurangnya kualitas gagasan politik itu sendiri. Kualitas gagasan politik adalah seberapa baik gagasan tersebut dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat dan negara. Kualitas gagasan politik di Indonesia masih rendah, karena banyak gagasan yang tidak memiliki landasan teori yang kuat, tidak berdasarkan data dan fakta yang valid, tidak realistis, atau tidak konsisten. Hal ini menyebabkan masyarakat sulit untuk membedakan mana gagasan yang baik dan mana yang buruk, sehingga mereka lebih memilih berdasarkan popularitas. 
  • Kurangnya kontrol sosial terhadap politik dan lemahnya penegakan hukum. Kontrol sosial adalah mekanisme yang digunakan oleh masyarakat untuk mengawasi dan mengoreksi perilaku-perilaku yang menyimpang dari norma-norma sosial. Meskipun sudah ada media sosial yang bisa digunakan untuk melakukan kontrol sosial terhadap kegiatan politik, namun hal ini masih sulit karena banyak politisi yang tidak bertanggung jawab dan tidak transparan dalam menjalankan tugas dan fungsi mereka. Tidak semua politisi terpilih melaporkan kegiatannya kepada masyarakat, tidak lapor kekayaan, dan berperilaku seperti "kebal hukum" atas penyimpangan yang mereka lakukan. Bahkan koruptor saja bisa mendaftarkan diri kembali sebagai Caleg. Kalaupun ada yang ketawan Korupsi, hukuman yang diberikan oleh aparat hukum terkesan seperti dikurang-kurangi untuk orang-orang yang punya "privilege" ini. Hal ini menyebabkan masyarakat sulit untuk menilai kinerja dan akuntabilitas politisi.  Hal ini tentu membuat banyak masyarakat menjadi apatis dalam berpolitik, dan menjadi tidak percaya dengan kesungguhan dari gagasan-gagasan serius yang mungkin disampaikan. 
Pada dasarnya, popularitas bukanlah sesuatu yang buruk dalam politik. Asalkan popularitas tersebut juga disertai dengan kompetensi dan integritas. Politik tidak hanya membutuhkan popularitas, melainkan juga membutuhkan gagasan-gagasan yang baik dan bermanfaat bagi masyarakat dan negara. Harapan saya masyarakat Indonesia bisa lebih kritis dan cerdas dalam Pemilu tahun ini. Masyarakat harus mampu mengevaluasi popularitas dan gagasan politik secara objektif dan rasional. Masyarakat juga harus aktif dan proaktif dalam mengawasi dan mengontrol politisi yang dipilihnya nanti. Dengan demikian, politik Indonesia dapat menjadi lebih berkualitas dan bermartabat.

Komentar

Postingan Populer