Jalan Berliku Memahami Persepsi Konsumen Yang Cenderung Tidak Reliable dan Tidak Konsisten


Beberapa minggu yang lalu saya mengikuti proses Focus Group Discussion (FGD) yang dilakukan oleh salah Perusahaan Consumer Goods besar di Indonesia. FGD yang saya amati terdiri atas 4 group dan struktur pertanyaan dari moderator memperlihatkan cakupan tujuan riset yang cukup banyak. Mulai dari Usage and Attitude, Brand Imagery and Personification, hingga Product Concept Exploration. 1 grup memakan waktu kurang lebih 2,5 jam sampai 3 jam. Perserta FGD yang di rekrutpun juga harus memenuhi kriteria tertentu. Selama mengamati diskusi-diskusi antara moderator dan peserta FGD tersebut, saya hanya berpikir bahwa, tidak mungkin sebuah perusahaan bisa memenuhi keinginan semua konsumen-konsumen ini. Bahkan saya berpikir bahwa KONSUMEN ADALAH VARIAN MANUSIA YANG UNRELIABLE AND INCONSISTENT ANTARA UCAPAN DAN TINDAKAN. Dalam hal ini, saya harus setuju dengan ucapan Steve Jobs yang mengatakan bahwa: "A lot of times, people don't know what they want until you show it to them". dan quotesnya Jobs yang lain yaitu: "It is not the customer's job to know what they want".


Akan Selalu Ada Gap Antara Aspirasi Produsen dan Persepsi Konsumen

Sebagai produsen, tentu perusahaan ingin bisa menciptakan produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen. Tidak hanya produknya, komunikasi dan promosinya pun juga dikreasikan secara kreatif agar bisa relevan dengan konsumen sasaran. Melaui FGD, produsen bisa menemukan bahwa apa yang sudah dikreasikan oleh produsen untuk membangun persepsi tertentu dibenak konsumen, ternyata tidak sejalan dengan apa yang dipersepsikan.

Bicara produk, sudah pasti ada yang namanya product ingredients, product packaging, product format, innovation, features, design, dan seterusnya. Sebagai produsen sudah pasti kita ingin memberdayakan semua sumber daya perusahaan untuk bisa mengkreasikan produk dengan product benefit tertentu yang didukung dengan product attribute tertentu, yang di desain dengan format yang paling nyaman untuk digunakan, dengan desain kemasan yang menimbulkan efek kognitif dan afektif tertentu di dalam benak konsumen. Tapi meskipun produk kita sudah dirancang sedemikian rupa, tetap saja ada kurangnya di mata konsumen. Hingga akhirnya produk akhir diluncurkan ke pasar, kadang masih saja ada elemen-elemen produk yang dirasakan tidak sempurna dan setidaknya dipersepsi berbeda oleh konsumen. Ironisnya, kadang malah produk yang dikreasikan tanpa melalui proses panjang pada penciptaannya, ternyata responnya bisa jadi cukup positif di konsumen. Sehingga kadang saya suka berpikir, apa iya menjadi produsen yang berhasil harus melalui proses panjang seperti ini dalam mengkreasikan suatu produk? 

Catatan: Pendapat dibawah ini tentu tidak harus disepakati bersama. Let's agree to disagree

Riset konsumen yang dilakukan dengan metode FGD ataupun survei menurut saya sangat baik untuk dilakukan. Saya sebagai orang yang kadang terlibat dalam kegiatan akademik di universitas jelas berpendapat bahwa riset sangat diperlukan dan sangat bermanfaat dalam berinovasi. Tapi sayangnya, melakukan riset konsumen dengan jumlah responden dan informan yang besar dan dilakukan di wilayah jangkauan pasar akan memakan sumber daya finansial yang sangat besar. Sehingga biasanya yang melakukan semua proses ini Adalah mereka yang memiliki uang yang banyak. Namun terkait product or brand creation, saya merasa produsen tidak hanya harus menjadi pendengar, melainkan juga harus menjadi edukator dalam inovasi produknya.

Kenapa? 

Karena memenuhi keinginan semua konsumen itu hal yang tidak mungkin untuk dilakukan. Memperhatikan jawaban-jawaban dan respon-respon dari konsumen di dalam ruang FGD bisa sangat beragam dan sangat subjektif. Bagaimanapun konsumen adalah manusia yang memiliki Frame of References dan experience yang unik. Ada orang yang suka warna hitam, ada yang suka bunga-bunga. Ada yang suka wangi yang subtle, ada yang suka wangi kuat. Ada yang suka gurih, dan yang suka manis. Sehingga benar-benar sulit bisa memenuhi semua keinginan tersebut. Dan dalam situasi yang berbeda, orang yang sama bisa mengucapkan hal yang berbeda dari apa yang diucapkan di dalam ruang FGD. Walaupun dalam perspektif riset hal ini bisa dikonfirmasi dengan melakukan triangulasi sumber, metode, dan triangulasi lainnya, tetap saja bagi saya harus ada idealisme yang berperan dalam berkreasi dan "mengajarkan" mengapa inovasi ini paling baik bagi konsumen.

Tidak Cukup Produsen Menjadi Edukator Saja. (Sedikit Keluar Dari Urusan Riset) 

Yes, menjadi edukator saja juga tidak cukup. Produsen perlu menjadi edukator yang bertanggungjawab dengan mengedukasi konsumen agar mereka tahu produk berkualitas itu seperti apa. Jika produsen tidak bertanggungjawab dan menggunakan riset untuk memanfaatkan persepsi konsumen untuk "mengelabui" konsumen, maka produsen hanya menjadi oknum yang tidak bertanggungjawab. Misalnya, produsen-produsen makanan-makanan yang ultra-processed. Riset-riset seringkali hanya digunakan untuk mengetahui apakah konsumen "menerima" sensory experience dari produk-produk yang berbahan kurang baik tersebut. 

Dari perspektif komunikasi, edukator yang bertanggungjawab juga harusnya tidak boleh membohongi konsumen dengan gimmick-gimmick yang tujuannya hanya sekedar menarik perhatiannya konsumen. Sebut saja sebuah minuman coklat yang mengklaim bahwa coklatnya berasal dari Swiss, padahal mungkin kandungan coklatnya minim. Atau minuman kemasan dalam botol yang mengklaim mengandung madu, yang padahal madunya sangat-sangat minim tapi diperkuat dengan perisa yang dipersepsi sebagai "beneran madu". Secara etika tentu hal ini tidak baik. Tapi sayangnya praktek ini memang sangat umum dilakukan dan pemain-pemain besar melakukannya. 

Saya pikir harusnya regulator juga harusnya mendukung hal ini. Semua hal ini bisa terjadi juga karena ada peran regulator di dalamnya. Sayang sekali pada sisi gelapnya memang dengan komunikasi produsen bisa mengaburkan sebuah kebenaran dengan seni berkata-kata dan visual yang indah. Misalnya saja meletakan gambar bahan-bahan asli seperti buah-buahan dalam kemasan minuman agar menimbulkan kesan bahwa produk ini mengandung bahan asli buah padahal jika dilihat komposisinya lebih dari 50% adalah gula, sirup fruktosa, perisa, emulsifier, dan lain-lain. Sehingga melihat situasi ini perlu ada edukasi konsumen yang lebih intensif lagi agar tidak terbuai dengan keindahan yang disajikan oleh produsen.



Lalu bagaimana?

Singkat kata, riset itu tetap diperlukan agar bisa memahami persepsi konsumen. Yang jelas, memahami isi otak konsumen itu sama saja kita melalui jalan yang berliku-liku. Karena banyak hal yang mempengaruhi konsumen dalam berperilaku dan mempersepsi suatu brand. Perlu diingat juga bahwa konsumen itu bisa jadi berbeda antara pada saat melalui proses riset dan ketika mereka menjalani kehidupan sehari-hari. Karena dalam kehidupan sehari-hari, konsumen tidak mengalami pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh moderator atau surveyor. Sehingga proses berpikirnya pada saat di pasar, di supermarket, atau ketika mereka belanja dimanapun, bisa jadi lebih sederhana daripada saat mereka diminta untuk menjawab sejumlah pertanyaan. 

Menurut saya, produk dan jasa yang berangkat dari idealisme dan kepercayaan diri produsen bisa jadi memiliki dampak yang hebat tanpa harus sepenuhnya menggantungkan arah penciptaanya pada riset konsumen. Jika saya harus berimajinasi, saya rasa ketika Jobs dan Wozniack menciptakan iPod, mereka tidak bertanya kepada konsumen "apakah anda tertarik jika ada sebuah device yang bisa menampung semua koleksi CD, bahkan hingga ribuan library musik anda, dan ada bisa mendengarkan musik tersebut dimana saja?" Dan dilanjutkan lagi "apakah seperti anda tertarik untuk membeli iPod jika bentuk desainnya seperti ini (sambil menunjukkan desain prototype dari iPod)"? Saya yakin idealisme Jobs dan Wozniack lebih berperan pada proses penciptaan produk-produk Apple daripada hasil riset-riset konsumen yang pernah dilakukan oleh Apple.

Komentar

Postingan Populer