Barang-Barang Branded dan Pemenuhan Kebutuhan Emosional

Persepsi nilai pada brand itu real! This is a powerful force within consumer’s mind. Di sini gw membahas bagaimana transfer of value dari brand kepada konsumen itu terjadi, dan kenapa orang pengen banget punya barang branded.

Beli tas LV, Hermes, Gucci, mahal kan ya? Sama tas yang non-branded, fungsinya sama tapi perbedaan harganya antara langit dan bumi. Harga tas branded bisa 36juta, 42juta, 82juta, luar biasa memang. Kalau dipikir-pikir secara rasional, terutama dari kacamat segmen kelas menengah seperti kebanyakan kita orang Indonesia, ya memang gak masuk akal beli tas harga segitu. Dan memang pada akhirnya juga brand-brand mewah itu cara marketingnya juga tidak menggunakan pendekatan yang rasional atau fungsional. Tapi yang dientuh sisi emosionalnya manusia, egonya manusia. Ya kalau kita kaitkan dengan piramida kebutuhan, ya barang-barang itu diciptakan untuk memenuhi kebutuhan self-esteem, yaitu kebutuhan untuk mendapatkan recognition, respect dari orang lain, kepercayaan diri, dan lain-lain.

Jadi menurut Maslow, sebelum seorang sampai ke jenjang kebutuhan yang paling tinggi, mereka harus memenuhi kebutuhan yang paling bawah dulu barus bisa naik ke atas. Kalau dari penjelasan sederhana itu, lo musti hati-hati dalam mengambil keputusan, jangan sampai motif untuk memenuhi sense of accomplishment mengorbankan kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, and kebutuhan untuk dicintai dan menjadi bagian dari kelompok tertentu. Meskipun ada banyak psychologist yang merasa sulit untuk menggunakan kerangka Maslow untuk mengukur motivasi pemenuhan kebutuhan manusia, tapi kenyataannya piramida ini sangat popular dan dijadikan acuan untuk setidaknya mendeskripsikan motif kebutuhan manusia. Sekarang piramida Maslow pun juga ada updatenya dari versi originalnya. Lo bisa cari informasi itu di internet ya, tapi intinya disini saya cuma mau bilang, jangan sampaigara-gara lo memaksakan diri untuk membeli barang mewah malah jadi mengganggu kesehatan karena lo kebanyakan makan mie instan. Jangan pak…

Tapi lo juga pasti bertanya-tanya kan, kenapa orang mau beli barang branded dengan harga mahal? Entah itu beli sendiri, atau ada yang dibeliin sama sugardaddy, tapi kenapa? Kenapa pengen banget barang branded? Ya kalau menurut pandangan saya ya karena ada added value itu sendiri.

Jadi guys, salah satu fungsi dari brand adalah memberi nilai tambah suatu produk atau jasa. Nilai tambah ini bisa sesuatu yang tangible, atau intangible. Saya bekerja di dunia komunikasi pemasaran yang membantu brand dalam mengkomunikasikan value, dan komunikasinya itu sendiri juga bisa menambah value dari si brand. Karena adanya komunikasi, maka terjadilah transfer of value dari brand kepada konsumen, yang akhirnya konsumen percaya bahwa brand punya value, stands for something in the society, dan memberikan efek yang bernilai pada diri mereka baik itu secara rasional, maupun tidak rasional.

Sekedar ilustrasi, tentang added value ya. Lo beli polo shirt polos di tanah abang harganya 100rban-200rban. Bagus dan nyaman dipakai. Tapi, ada seseorang di mall seberang tanah abang membeli polo shirt dengan bentuk dan warna yang sama, perbedaanya cuma ada ikon buaya di posisi atas kantong kiri, orang itu beli seharga 1 jutaan. Kok iso yo? Mungkin lo jadi bertanya-tanya, Ikhlas gak ya orang itu kalau tau ada orang beli polo shirt yang relative sama physical features-nya tapi dengan harga yang sangat jauh berbeda. Jawabanya: InshaAllah ikhlas. Kenapa? Ya selain karena secara finansial mampu, dia juga percaya banget bahwa si logo buaya itu punya nilai lebih di masyarakat. Punya story yang inspiratif, it stands for something, punya asosiasi yang dengan strata social dan pencapaian seseorang dalam hidup, sehingga tidak hanya kebutuhan fisiologis terpenuhi, kebutuhan self-esteem pun terpenuhi. Tapi bagaimana dengan orang yang tidak memiliki awareness dan knowledge yang sama tentang si logo buaya? Ya logo buaya itu means nothing. Disitulah masuk fungsi marketing communication, supaya orang yang tidak tahu nilai dari dari brand menjadi tahu, dan lebih lanjut memunculkan desire agar mau banget memakai polo shirt dengan logo buaya itu. Itu kita contoh ilustrasi fashion.

Contoh lainnya. Lo beli 1 sisir pisang dipinggir jalan harganya pasti jauh lebih murah dibanding beli 1 sisir pisang Sunpride yang jumlahnya lebih sedikit, tapi keliatan lebih bersih, tempat belinya lebih enak, dan kayaknya “terjamin” lebih aman konsumsi. Yaitu gambaran value gap antara branded dan non-branded item. Yang satu pisang branded, yang satu pisang non-branded. Sama-sama pisang tapi yang satu ada brandnya, dan lo rela bayar lebih untuk sebuah perceived value yang ada dibenak lo. Saya gak bilang Sunpride itu enggak bagus ya. Justru karena adek saya kerja disitu, ya saya jadi tahu kalau Sunpride ini produk agrikultur berkualitas asal Indonesia yang juga menghasilkan produk agrikultur lainnya yang diekspor ke mancanegara. Anyway, mereka melakukan transfer of value melalui komunikasi, apapun bentuk komunikasinya.

Singkat kata, added value dari sebuah brand itu bisa beragam wujudnya atau ceritanya di benak tiap konsumen. Wujud atau cerita itu dibangun melalui komunikasi. Beberapa cerita itu punya kaitan langsung dengan suatu yang berwujud yang real seperti kualitas material, cara produksi, dan lain-lain atau tangible, tapi Sebagian ceritanya brand itu juga bisa jadi dibangun atas imajinasi yang dibangun melalui pesan-pesan komunikasi pemasaran atau asset intangible dari brand tersebut. Mau itu tangible ataui intangible, yang Namanya persepsi pada nilai brand itu real. Jadi ya this is a powerful force di benak dan batin konsumen.

Komentar

Postingan Populer