Kecintaan Pada Uang & Materi Yang Membuat Manusia Menempuh Segala Cara Meskipun Harus Merugikan Orang Lain.


Setiap menjelang akhir tahun, sudah selayaknya kita merefleksikan waktu yang telah berlalu dan melakukan introspeksi diri. Mungkin juga bagi banyak orang, tahun 2022 juga punya “tema” yang sama dengan saya. Bagi saya, Tahun 2022 adalah tahun yang penuh dengan pencarian: Mencari kesempatan baru, mencari lingkungan baru, mencari “obat hati” untuk diri saya yang terluka akibat peristiwa-peristiwa yang terjadi di tahun 2019, 2020, dan 2021.


Seperti yang banyak teman-teman ketahui bahwa 5 bulan belakangan saya tinggal di Pekanbaru. Tapi yang tidak banyak diketahui (sekarang yang baca jadi tahu), kepindahan saya ke Pekanbaru didorong oleh keinginan saya untuk menyembuhkan “penyakit hati” yang melanda diri ini. Kalau saya ditanya sama mahasiswa/i, kenapa saya pindah ke Pekanbaru? Jawabannya adalah: “Saya mau healing”. Yang biasanya jawaban tersebut diiringi dengan gelak tawa, dan jawaban tersebut saya akhiri sampai disitu tanpa ada penjelasan lebih lanjut.

Betul, saya memang butuh healing. Tapi bukan healing-healing ala Gen-Z, melainkan healing secara harfiah. saya butuh “menyembuhkan” hati saya, dan berdamai dengan luka dan amarah yang menjuru ke semua penjuru arah, termasuk ke orang-orang yang saya anggap orang-orang terdekat saya. Sehingga saya berpikir pada waktu itu untuk mencari “rumah baru” bagi keluarga kecil saya agar tidak bertemu dengan manusia-manusia yang tidak baik di sekeliling kami.

 

Di akhir tahun 2021 saya dipertemukan kembali dengan adik sepupu yang “menghilang”. Tanpa disangka, melalui tangan adik saya ini, Tuhan memberikan saya kesempatan healing ke Pekanbaru. Mungkin adik saya ini tidak sadar bahwa sebenar-benarnya betapa besar jasanya bagi hidup saya tahun ini. Karena uluran tangannya, tidak hanya saya bisa belajar bersama mahasiswa/i dan kawan-kawan dosen di sebuah Universitas Swasta di Pekanbaru, tapi juga selama 5 bulan ini saya berkesempatan menyaksikan betapa luasnya bumi Allah ini. Syukur Alhamdulillah saya mengunjungi dan melihat daerah-daerah di provinsi Riau yang mungkin orang Pekanbaru sekalipun belum pernah melihatnya dan bisa berinteraksi dengan penduduk setempat yang memberikan saya wawasan yang jarang ditemukan di media-media sekalipun.

Akhirnya, sayapun jatuh cinta pada kehidupan saya di kota ini. Meskipun cinta ini tidak sepenuhnya pada aspek yang saya jalani sehari-hari di kota ini ya…


Singkat cerita, karena perubahan situasi di Jakarta, insyaAllah tahun depan saya memutuskan untuk kembali ke ibukota yang membesarkan saya. Dari lubuk hati yang terdalam, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Riau. Karena provinsi ini sudah menyembuhkan saya. InsyaAllah hati ini lebih siap menghadapi dunia yang penuh dengan ilusi ini. Jika ada satu pembelajaran yang bisa sampaikan dari rangkaian peristiwa yang alami di tahun 2019, 2020, 2021 melalui tulisan ini, maka pembelajaran itu adalah berikut ini:

Kecintaan seseorang pada materi, tidak peduli orang tersebut adalah teman kamu, atau bahkan keluarga terdekat kamu sekalipun, dapat mendorong mereka untuk mendapatkan materi atau memuaskan hasratnya pada materi tersebut dengan segala cara, meskipun cara tersebut harus merampas apa yang menjadi hak mu, kebahagiaanmu, dan/atau merugikanmu.

Yang paling menyedihkan adalah ketika saya melihat orang-orang yang cinta materi ini menggunakan nama Tuhan (dan bahkan ritual-ritual tidak jelas) untuk mendapatkan materi tersebut. Segala cara digunakan, termasuk menggunakan nama Tuhan, untuk pengejaran materi dan juga merugikan orang lain.

Mungkin untuk orang yang merasa bahwa karunia Tuhan diwujudkan dalam bentuk keberlimpahan materi - dan sebaliknya adalah ujian yang menghinakanakan - akan sulit untuk mencerna ini. Tapi sungguh kalau kita kembali ke Al-Quran, kecintaan pada materi ini tidak akan membawa kita seluruh umat manusia apapun agamanya pada akhir yang baik.


Bicara soalnya pembelajaran di akhir tahun, saya ingin berbagi kembali tulisan yang pernah saya tulis di tahun 2016 tentang waktu. Allah berfirman dalam surat Al-Ashr 1 - 3:

"Demi masa... Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shalih dan saling menasehati supaya mentaati kebenaran dan saling menasehati supaya menetapi kesabaran".

Di tahun 2016, Saya menemukan tulisan yang menarik sekali (klik disini). Singkatnya dengan mengikuti pola penghitungan fisika modern (yang saya juga kurang paham), dikatakan bahwa rata-rata hidup manusia di bumi (disesuaikan dengan umurnya nabi Muhammad SAW yang meninggal di usia 63 tahun) sama dengan 1,5 jam waktu akhirat.

Tulisan yang saya temukan ini juga memberikan ilustrasi perhitungan waktu sebagai berikut:

1.000 tahun di dunia = 1 hari di akhirat. 24 jam akhirat = 1.000 tahun dunia. 12 jam akhirat = 500 tahun dunia. 6 jam akhirat = 250 tahun dunia. 3 jam akhirat = 125 tahun dunia. 1,5 jam akhirat = 62,5 tahun dunia. Lalu pertanyaannya, apa yang sudah kita lakukan dalam 1,5 jam hidup kita? Apa jadinya jika 1,5 jam hidup kita dipakai hanya untuk mengejar materi.

Tahun depan, saya berdoa semoga kita semua bisa fokus pada tujuan hakiki.

Komentar

Postingan Populer