Sekarang kok Waktu Terasa Lebih Cepat ya? Sudah Mau Kiamat Kah?!







2 minggu ini saya membantu sebuah agency mengerjakan sebuah pitching untuk brand farmasi. Presentasinya baru saja terlaksana beberapa hari yang lalu dan mudah-mudahan kita menang. Aamiin…

Singkat cerita, ketika pitching saya mempresentasikan tentang situasi konsumen saat ini paska pandemi. perubahan-perubahan Apa saja sih yang terjadi sama khalayak sasaran si brand ini, dan bagaimana kita menghubungkan perubahan-perubahan yang terjadi tersebut dengan unique selling point dari produk obat tersebut, dan juga dengan perubahan-perubahan Sosiokultural di konsumen itu sendiri. Kemudian yang saya lakukan untuk memahami lebih jauh adalah saya berbicara dengan beberapa orang yang menurut saya sesuai dengan profilnya dengan konsumen yang ingin di disasar oleh si Brand tersebut. Secara demografi, jenis kelamin dan usia yang ingin di disasar adalah Laki-laki dan perempuan berusia 25 sampai 35 tahun. Tentu jika kita hanya melihat demografik saja, rentang usia ini terlalu umum, namun segi psikografis, kita kerucutkan kepada orang-orang ambisius yang selalu ingin in progress, dan dalam perjalanan menggapai ambisinya, orang-orang ini terus menjaga kesehatannya agar tidak terganggu dengan flu dan batuk. yang mana pasca pandemi ini kalau seseorang terkena flu dan batuk menjadi sesuatu yang complicated.

Sebelum pandemi orang kalau terkena flu dan batuk Mungkin biasa-biasa saja. Obat-obatnya bisa dibeli di minimarket terdekat dan cukup istirahat beberapa hari, dan Insyaallah akan cepat sembuh. Tapi ketika pandemi dan paskapandemi kalau seseorang terkena flu dan batuk tentu akan parno. karena kita pasti bertanya-tanya, ini adalah flu dan batuk biasa, atauini adalah covid. dan kalau sudah seperti ini urusannya akan panjang. Tentu berbeda dengan situasi sebelum pandemi. Buat sebagian orang kalau sudah kena flu ataupun batuk saat ini, mereka akan langsung testing sendiri, dan langsung kepikiran betapa menyebalkan dan ribetnya kalau sampai harus isolasi Mandiri. buat orang-orang yang ambisius kalau harus melakukan self-quarantine dan testing saat mengalami gejala-gejala covid ataupun flu dan batuk yang berat adalah sesuatu yang menyebalkan. karena buat orang-orang yang ambisius itu ketika mereka sakit dan harus beristirahat, dan harus slowing down, otak mereka tetap bergerak dan menolak untuk mengalah dengan keadaan. Sehingga dengan pain-point seperti ini, masuklah peran produk atau brand yang perlu dikomunikasikan. Namun podcast kali ini tentu tidak membahas tentang pitching ini, melainkan membahas tentang penemuan-penemuan yang saya dapatkan Ketika saya wawancara dan juga melakukan observasi percakapan-percakapan yang terjadi di media sosial. 




Setelah mengamati dan melakukan wawancara, ternyata apa yang saya rasakan selama ini tervalidasi, bahwa sepertinya di paska pandemi ini, waktu terasa berjalan begitu cepat. Lalu akhirnya situasi ini membuat saya bertanya-tanya, apa yang sebenarnya membuat waktu itu terasa begitu cepat berlalu. Untuk yang muslim biasanya kalau udah urusan waktu yang berjalan cepat, dan kalau kita tidak mau bercakap-cakap dengan seseorang, biasanya langsung kita selesaikan pembahasan dengan mengatakan: “ya iyalah makin cepat, kan udah mau kiamat”. Nah, kalau udah bicara begitu tidak perlu lagi ada argumentasi kan? Tapi tanpa adanya argumentasi, tentu kita akan menjadi buta dengan apa yang sebenarnya terjadi. Karena sesungguhnya ayat-ayat suci itu sangat praktikal meskipun difirmankan dengan abstraksi yang sangat tinggi. Tanpa ada logika kritis, maka sesungguhnya kita melanggar perintah Tuhan yang memerintahkan kita untuk berpikir. Maka jadinya saya memikirkan supaya dianggap manusia yang beriman dan bertakwa.

Jadi disinilah saya akan mengutarakan pengamatan subjektif saya.

Jika anda seorang akademisi komunikasi atau orang-orang yang berkecimpung di dunia digital, maka anda akan sadar bahwa perubahan paling signifikan yang kita rasakan ketika pandemi adalah akselerasi digitalisasi. Akselerasi ini tentu bukan tanpa konsekuensi. Dan konsekuensi tersebut bisa jadi sangat positif ataupun bisa sangat negatif. Tergantung bagaimana kita sebagai manusia menggunakan teknologi tersebut, dan bagaimana kita sebagai manusia merespon perubahan tersebut. Ketika pandemi, kita-kita para pekerja bekerja dari rumah atau work from home, kemudian setahun berikutnya work-from-home berevolusi kembali menjadi work from anywhere. Bahkan pemerintah di saat pandemi mempromosikan untuk Work from Bali, sehinga untuk beberapa sektor bisnis, kantor fisik itu menjadi kurang relevan, bahkan bekerja dari manapun tetap masih bisa produktif menyelesaikan pekerjaan yang di harus diselesaikan.

Batasan-batasan waktu pun juga mulai kabur. Apalagi buat mereka yang bekerja di kantor multinasional yang wilayah operasional kantornya berada di wilayah waktu yang berbeda. Tentu revolusi digital ini menjadi angin segar bagi orang-orang yang ambisius. Karena dengan adanya teknologi ini mereka bisa mengerjakan banyak hal dalam satu waktu, dimanapun dan kapanpun. Bahkan di rumah pun mereka sambil rebahan masih bisa menghasilkan uang. Dan kalau di rumah saja bisa menghasilkan uang, dan maka dalam satu mereka bisa mengerjakan banyak banyak pekerjaan untuk menambah pundi-pundi penghasilan. Dan yang mana secara bersamaan, mereka juga masih bisa dekat dengan keluarga. Bisa bermain sama anak-anak, memanjakan istri dan anak-anak, yang mana sebelumnya ketika harus bekerja di sebuah cubicle dari jam 9 sampai jam 6 sore, waktu bersama keluarga dan waktu pribadi itu adalah sebuah kemewahan. Sehingga orang-orang ini melihat bahwa waktu ini bisa dioptimalisasikan untuk mencapai tujuan ambisinya apapun itu. Terlebih lagi pada waktu itu banyak dari kita yang kehilangan orang-orang tercinta. Maka sebagian dari kita pun yang juga menyadari bahwa waktu itu bukan sesuatu yang bisa kita kendalikan, dan kita juga tidak tahu kapan waktu kita akan berakhir di bumi ini. Sehingga paska pandemi ini, tampaknya orang-orang memiliki perhatian dan kesadaran yang lebih soal waktu. Terlebih lagi untuk orang yag ambisius. Mereka ingin memastikan agar waktu yang tersisa bisa digunakan sebaik mungkin untuk mencapai tujuan mereka apapun itu.

Sehingga inilah argumentasi saya kenapa waktu saat ini terasa lebih cepat berlalu. Berdasarkan pengamatan saya, hal ini terjadi karena kita merasa bahwa dengan cara hidup yang segala-galanya sudah terdigitalisasi, semua hal bisa kita kerjakan dalam waktu yang lebih cepat. Jadi secara mindset, kita sendiri sudah masuk ke mode hyperactive. Di masa pandemi sudah dibuktikan bahwa kita bisa mengerjakan pekerjaan kantor sambil nonton netflix, sambil ngurus anak, bikin kopi, mungkin juga mesin kopinya sudah terotomatisasi, dan juga sambil ngobrol dan curhat sama pasangan. Di masa pandemi sebagian kita juga merasakan bahwa kita bisa melaksanakan beberapa meeting dalam beberapa jam. Jika Sebelum pandemi kita hanya bisa menjadwalkan 2-3 rapat dalam sehari, ternyata dengan digitalisasi, dalam sehari kita bisa menjadwalkan 5-8 rapat dan mengambil lebih banyak keputusan strategis dalam satu hari. Betapa efisiensi dalam bekerja itu sangat dirasakan dengan adanya teknologi informasi dan komunikasi. Di saat bersamaan quality time bersama keluarga pun tetap terjaga. Maka pandemi itu adalah periode dimana digitalisasi di akselerasi, dan pasca pandemi adalah periode akselerasi productivity. Semua rencana-rencana yang tertunda, kita kebut supaya segera teralisasikan. Maka tidak heran Jika kita merasa waktu berjalan lebih cepat saat ini. Karena pasalnya dalam waktu yang sama seperti sebelum pandemi, di periode paska pandemi ini ternyata banyak hal yang bisa kita lakukan. Konsekuensinya adalah karena sesuatu terlaksana lebih cepat maka kita pun cenderung merencanakan sebuah aktivitas juga menjadi lebih cepat. Biasanya dalam seminggu itu misalnya kita rapat setiap hari itu mungkin 1 atau 2 rapam di paska pandemi jadwal rapat itu bisa sangat padat dalam seminggu. sehingga lebih banyak keputusan-keputusan strategis yang diambil, dan orang bisa mulai kerja dan berkoordinasi lebih mudah, cepat, dam efisien. Dan ketika pekerjaan sudah selesai, langsung lah dilanjutkan dengan pekerjaan berikutnya. maka tidak heran kalau waktu itu terasa lebih cepat. Tapi disaat yang bersamaan, kita jadi lebih sibuk dengan banyak perintilan yang ingin dilakukan.

Kemudian soal Work-Life Balance misalnya. Buat orang-orang yang berambisi, Work-Life Balance itu mempunyai makna yang berbeda. Enggak ada tuh buat orang Ambisius berbicara kena mental lah, perlu healing-healing lah. No… Beda sama definisi Work-Life Balance generasi Z yang jompo-jompo itu. Buat orang ambisius Work-Life Balance itu is about commitment and stamina untuk memastikan semua urusan bisnis, pekerjaan, pribdi, dan keluarga mendapatkan porsi yang terbaiknya. Jadi nggak ada tuh urusan kerjaan harus dinomorduakan karena urusan keluarga. No… Semua itu sangat penting, punya porsi yang sama dan harus dijaga keseimbangannya. That’s the Real Work-Life Balance. Buat yang muslim, tentu tentu urusan Work-Life Balance ini semakin penuh tantangan. Karena buat Muslim urusan ibadah juga harus dijaga keseimbangan. Jangan sampai karena pekerjaan, pribadi ataupun keluarga urusan ibadah di nomor duakan kan. Sekarang ini kan banyak ya muslim di Indonesia kalau udah urusan kerja dari pagi sampai malam, salatnya dirapel di malam hari. Tentu ini bukan Work-Life Balance yang ideal buat muslim yang ambisius. Muslim yang ambisius itu tujuannya bukan Dunia pak… bu…, tapi tujuannya adalah akhirat. Kalau tujuannya hanya dunia, maka kesibukan kita akan sia-sia. Karena buat Muslim, kematian itu bukanlah garis finish, Melainkan sebuah tanda bahwa kita memasuki level yang berikutnya. Coba buat yang muslim dibaca lagi Surat Al Ashr 1-3, kalau kita hanya berambisi dunia saja, maka kita adalah orang-orang yang merugi. kalau dianalogikan dengan bisnis, maka kita adalah orang-orang yang bisnisnya enggak cuan.



So, jadi terlepas dari mengimani kalau waktu itu terasa cepat maka Kiamat Sudah Dekat, Maka argumentasi logika duniawi saya berpendapat bahwa saat ini ada kecenderungan kita untuk memprioritaskan “segalanya” soal dunia. Karena kita merasa bisa melakukan banyak hal dalam satu waktu, sehingga waktu kita gampangkan. Kemudian ada budaya work-life balance yang harus dijunjungtinggi, tapi juga mau hustle supaya bisa punya kebebasan finansial, yang menurut saya konsep yang agak menyesatkan, Di saat bersamaan kita juga mau menjalankan ibadah kita mengejar akhirat, tapi giliran urusan penghasilan haram tidak terlalu peduli karena itu mendukung tujuan kebebasan finansial, wow ribet ya. Belum lagi kita tahu di HBO ada House of Dragon, di Netflix ada Wednesday, di Vidio ada World Cup Qatar 2022, Nah, semakin banyak list yang harus dilakukan, makin banyak yang mau dikerjakan, tapi at the same, dengan “teknologi” semua itu tampak bisa untuk dilakukan dengan maksimal. Akhirnya apa, waktu yang 24 jam tadi kok rasanya makin singkat ya... Kok waktu udah sore aja ya. Aduh kok besok sudah jumat ya, perasaan kita sudah kerja lebih cepat, lebih efisien, dan lain sebagainya. Tapi kok PRnya masih banyak. Semakin terdigitalisasi, hidup semakin akselerasi. Akhirnya waktu pun juga terasa fly so quickly.

Sebagai mahluk amfibi, yang hidup di dua alam, yaitu alam nyata dan alam maya, ada baiknya kita tentukan prioritas. Karena kita selalu mengiyakan segala-galanya, namanya tidak punya prioritas.

Komentar

Postingan Populer